Ilustrasi jemaah haji yang tengah wukuf di Padang Arafah/ Net
Ilustrasi jemaah haji yang tengah wukuf di Padang Arafah/ Net
KOMENTAR

SEBELUM Indonesia merdeka, telah berdiri organisasi-organisasi keislaman yang menjadi payung kegiatan muslimin Indonesia, dan termasuk juga menjadi rujukan dalam menentukan hari raya.

Setelah Indonesia merdeka, dari hasil perjuangan umat Islam, maka berdirilah Kementrian Agama yang punya kuasa menetapkan hari raya. Kendati demikian, perbedaan itu tetap ada, sebab pengaruh organisasi-organisasi Islam memang telah kuat sejak dari dahulunya.

Namun, perbedaan macam ini pun tidak salah, karena Islam memperbolehkannya. Lagi pula, hitungan penetapan Idul Adha berdasarkan peredaran bulan, yang cukup rumit untuk dideteksi disebabkan cahayanya yang lemah. Maka dibutuhkan kecerdasan pikiran dan keunggulan teknologi demi menentukan hari raya, sekaligus membuat perbedaan menjadi sesuatu yang layak diterima.

Hanya saja, untuk Idul Adha tahun ini Kementrian Agama Republik Indonesia telah mengumumkan hari yang berbeda dengan Arab Saudi, negara yang menjadi tempat berlangsungnya ibadah haji (wukuf salah satunya).

Di tengah kepungan dunia yang kian global, informasi yang teramat kencang, umat pun dibuat galau. Pasalnya, tahun ini, pemerintah Republik Indonesia melalui Kementrian Agama sudah menetapkan Idul Adha atau 10 Dzulhijjah jatuh pada tanggal 10 Juli 2022, sementara Arab Saudi menetapkan Idul Adha pada tanggal 9 Juli 2022.

Beda sehari ya!

Nah, bagaimana bisa kita beda Idul Adha dengan Arab Saudi?

Ya, sebetulnya wajar saja berbeda, karena letak geografis Indonesia yang memang tidaklah sama, jaraknya malahan sangat jauh. Dan ternyata, perbedaan hari Idul Adha bukan di tahun ini saja, di puluhan tahun terdahulu juga pernah terjadi, termasuk di masa ulama besar Buya Hamka masih hidup. Dan ulama kharismatik itu pun memberikan penjelasan yang menyejukkan.

Hamka dalam bukunya 1001 Soal Kehidupan (2020: 337) menerangkan, tanggal 10 Dzulhijjah disebut Yaumun Nahr (Hari berkurban). Lantaran itu, tidaklah wajib bagi kita meninggalkan maklumat yang timbul dari wewenang Mentri Agama yang menyiarkan hasil rukyah dan hisab yang jelas itu, untuk disamakan dengan Hari Raya Haji di Mekah- yang menurut perhitungan hisab rukyah dan hisab kita, mereka lakukan pada 10 Dzulhijjah.

Singkat kata, Hamka yang terkenal sebagai ulama nan istikamah ini menyarankan kaum muslimin untuk menaati Kementrian Agama yang telah bekerja keras menentukan Idul Adha. Umat Islam Indonesia tidak perlu memaksakan diri dalam mengikuti hari raya versi Arab Saudi, karena tidak ada dosa bila tidak sama dengan ketetapan Idul Adha di Mekah.

Hanya saja dampak perbedaan ini bukan hanya pada pelaksanaan shalat Idul Adha belaka, melainkan juga menimbulkan kebingungan terkait puasa sunah Arafah. Terlebih lagi, puasa yang satu ini limpahan pahalanya juga menakjubkan yang membuat peminatnya cukup banyak.

Wahbah az-Zuhaili dalam bukunya Fiqih Islam wa Adilatuhu Jilid 3 (2021: 42) menjelaskan, puasa hari Arafah, yaitu tanggal 9 Dzulhijjah bagi selain jamaah haji. Hal ini berdasarkan hadis yang diriwayatkan oleh Muslim, “Puasa hari Arafah menghapus kesalahan-kesalahan yang dilakukan selama setahun sebelumnya dan setahun setelahnya.

Sekilas tidak ada masalah dalam puasa Arafah, toh memang beda negara!

Ternyata ada juga masalahnya, terkhusus yang berkaitan dengan puasa sunah Arafah yang bertepatan dengan 9 Dzulhijjah. Tapi, di mana masalahnya?

Begini!

Ibadah wukuf di Arafah dilaksanakan pada hari Jumat 8 Juli 2022, karena hari itulah yang ditetapkan pemerintah Arab Saudi sebagai 9 Dzulhijjah. Sedangkan bagi muslimin Indonesia 9 Dzulhijjah baru jatuh pada hari Sabtu tanggal 9 Juli 2022, yang mana di hari itu Arab Saudi malah sudah Idul Adha, dan wukuf telah selesai kemarinnya. 

Jadi bingungkan! Bagaimana dong? Serumit itukah hanya untuk berpuasa Arafah?

Tidak rumit juga kok, sebab mana ada ibadah yang menyusahkan. Namun, perbedaan ini merupakan pemicu bagi kita untuk belajar lagi agama, mendalami lagi mutiara hikmah dari rangkaian ibadah.

Memang ada perbedaan pendapat ulama terkait beda hari puasa Arafah dengan ibadah wukuf di Arab Saudi. Namun, perbedaan itu justru mengarahkan umat kepada titik terang.

Muhammad Syafii Masykur dalam bukunya Minhajul Muslimah (2020: 122) mengungkapkan, sebagian ulama berpendapat bahwa penentuan Idul Adha ditentukan oleh pemerintah Arab Saudi karena ini kaitannya dengan penentuan wukuf di Padang Arafah. Jadi, ruyatul hilal yang dipakai adalah yang di Arab Saudi.

Sebagian ulama lain berpendapat bahwa penentuan Dzulhijjah tidak berbeda dengan penentuan bulan yang lain, yaitu sesuai dengan negeri masing-masing. Jadi, meskipun di Arab sudah lebaran jika di negeri kita masih tanggal 9 Dzulhijjah, kita tetap disunahkan berpuasa Arafah, tidak diharamkan.

Di antara kedua pendapat di atas, pendapat kedua lebih mudah diaplikasikan. sebab, jika diambil pendapat yang pertama, bagaimana dengan negara yang keadaannya siang pada saat Arab Saudi malam dan malam pada saat Arab Saudi siang. Apakah negeri yang seperti itu puasanya didasarkan pada waktu wukufnya jamaah haji? Jika mengikuti Arab Saudi, tentu mereka akan berpuasa pada waktu malam dan bertakbir pada waktu siang.

Kedua, pada zaman dahulu, komunikasi belum seperti sekarang, bagaimana dengan negara-negara yang jauh dari Arab Saudi? Bukankah sulit bagi mereka untuk mengetahui kapan Saudi lebaran?

Akhirnya, perbedaan tentang hari raya Idul Adha kita sudah sama-sama tahu bahwa hal demikian memang diperbolehkan oleh agama. Apabila Islam mengizinkan berbedaan, maka tidak ada faedahnya jika umat malah ribut.




Betapa Berat Kafarat Jima’ Saat Berpuasa

Sebelumnya

Sahur Itu Sunnah

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Artikel Fikih