Ilustrasi/ Net
Ilustrasi/ Net
KOMENTAR

Nabi Muhammad monogami dalam waktu yang teramat lama, nyaris sepanjang hayatnya. Ketika (maaf) nafsu syahwat alamiah manusiawi lagi bergelora di masa muda, beliau hanya setia bersama Khadijah di sisinya dan di hatinya.

Lha, kok akhirnya beliau punya banyak istri?

Demi kepentingan dakwah Islam, maka beliau menikah beberapa kali, yang tentunya sebagai bukti ketaatan atas perintah Allah. Dan istri-istri beliau pun janda-janda yang bahkan di antaranya tergolong nenek-nenek, yang mana suami-suami mereka syahid di medan jihad membela agama, yang memiliki banyak anak yang perlu disantuni. Beliu pun menikahi beberapa istri di usianya yang sudah tua, dimana perkara syahwat secara alamiah tidak berkobar lagi.

Pertanyaan terbesarnya ialah apakah kita mampu berlaku adil sebagaimana Rasulullah yang dibimbing langsung oleh Allah berlaku adil terhadap istri-istrinya?

Menjawabnya saja tidak mudah, apalagi mempraktikkannya.

Teungku Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy dalam Tafsir Al-Quranul Majid An-Nur Jilid 1 (2011: 486) menerangkan, ayat ini memberi pengertian bahwa dibolehkan beristri banyak adalah dengan syarat dapat berlaku adil. Sedangkan berlaku adil merupakan satu hal yang sangat sulit dicapai. Maksud adil disini adalah kecondongan hati. Kalau demikian, memastikan adanya adil merupakan suatu hal yang sulit diwujudkan. Tidak mungkin kecintaan seseorang kepada istri-istrinya dapat berlaku sama.

Oleh karena itu, kebolehan mempunyai istri banyak tidak bisa diberlakukan secara umum. Akan tetapi, secara darurat diperbolehkan bagi orang yang percaya akan mampu beraku adil dan terpelihara dari perbuatan curang.

Oleh sebab itulah banyak juga ulama yang berpegang teguh dengan prinsip monogami dan memberlakukan syarat teramat ketat atas poligami. Terlebih maraknya poligami para sahabat di masa kehidupan Rasulullah tidak terlepas dari kondisi darurat, demi menyelamatkan janda-janda dan anak-anak mereka setelah kematian para suami di medan jihad. Sementara tren yang berlaku saat ini banyak juga yang ta’adud yang dinikahi adalah yang muda remaja. Cukup jauh berbeda ya?

Teungku Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy dalam Tafsir Al-Quranul Majid An-Nur Jilid 1 (2011: 486) menyebutkan, Al-Amir Ali dalam kitab Sirrul Islam menjelaskan bahwa ulama-ulama besar Mu’tazilah berpendapat, seorang laki-laki tidak boleh beristri yang kedua selama dia masih mempunyai seorang istri. Ulama-ulama Mu’tazilah memang sangat ketat dalam hukum pernikahan. Mereka menekankan tentang kemudharatan-kemudharatan dan kesukaran yang terjadi akibat poligami.

Kutipan ini teramat menarik, mengingat golongan Mu’tazilah ini terkenal sangat-sangat rasional dalam memahami ajaran agama Islam, tetapi mereka teguh dalam monogami.

Surat an-Nisa ayat 3 ini menggambarkan betapa agama suci ini mengajak umat manusia berpikir terbuka. Prinsipnya, hakikat pernikahan adalah monogami, dan poligami diperbolehkan untuk kondisi darurat, yang mensyaratkan kemampuan adil. Dari itu pula Islam tidak menutup rapat pintu poligami tetapi tidak pula menggampangkan urusan ini.     

 




Assalamualaikum dan Semangat Mulia yang Menaunginya

Sebelumnya

Tafsir Keadilan Gender di Antara Mukmin Perempuan dan Mukmin Laki-laki

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Artikel Tafsir