KOMENTAR

TERKAIT dengan aksi berbangga-bangga diri, beberapa istilah telah diperkenalkan oleh khazanah Islam. Agar tidak bingung, ada baiknya kita pahami kutipan berikut ini.

M. Quraish Shihab & Najwa Shihab pada buku Shihab & Shihab: Bincang-Bincang Seputar Tema Populer Terkait Ajaran Islam (2019: 181) menyebutkan, ada tiga istilah: riya, sum'ah, dan ujub. “Riya” terambil dari akar kata yang berarti “dilihat”. Ru'yah, melihat. “Sum'ah” itu terambil dari kata “didengar”. Ingin dilihat kebaikannya itu riya, ingin didengar kebaikannya itu sum'ah. Ujub adalah perasaan tinggi di dalam hati sehingga melecehkan orang lain.

Baik riya maupun sum’ah pada dasarnya sama saja, yakni ingin mengangkat pamor diri, mau menggerek popularis, dan hendak meraih ketenaran. Begitulah jamaknya insan yang berhati lemah, begitu kuat hasrat dirinya untuk dipuja oleh pihak-pihak lain.

Padahal orang yang terjangkiti sum’ah akan sering tersudut dan memikul beban yang teramat berat. Berhubung terlanjur menyiarkan kehebatan diri, akibatnya orang sum’ah ini harus mati-matian tampil sempurna. Sejatinya, mana ada manusia sempurna. Dan betapa melelahkan batin tampil tidak sesuai kenyataan itu.

Dan celakanya, tak jarang yang terjadi aksi sum’ah malah melampaui fakta, atau malah jauh sekali dari realita.

Orang sum’ah menyebut-nyebut kekayaan ratusan miliar miliknya, yang membuatnya gampang bersedekah, sumbang sana sumbang sini. Orang-orang yang terpukau memuji-muji bisnisnya yang berkembang pesat, bahkan mereka menjulukinya si tangan emas, karena apapun yang dipegangnya akan jadi keuntungan hebat.

Ternyata banyak pemuja dirinya tidak mengetahui keadaan yang menyedihkan. Orang sum’ah itu melalui malam-malam panjangnya dengan deraian airmata, akibat terjerat hutang jauh lebih banyak dibanding hartanya yang ada. Dirinya tidak pernah tenang diteror hutang yang bunganya terus bertambah-tambah.

Ada yang lebih berbahaya lagi, ketika orang-orang malah membuai diri pengidap sum’ah dalam ilusi yang dusta.

Misalnya, pengidap sum’ah yang menyebut-nyebut kebaikan diri kesana-kemari, tetapi orang-orang bukannya membantah malah memujanya setinggi langit. Akibatnya, orang yang tengah terjangkiti sum’ah malah kian parah penyakit mentalnya itu.

Dia lupa puja-puji itu hanyalah bentuk muaknya publik atas perangai orang sum’ah yang memualkan. Sayangnya, tidak semua pengidap sum’ah ini menyadari jebakan macam ini.

Ada lagi yang lebih gawat, di mana Allah dan Rasulullah benar-benar tidak suka dengan pengidap sum’ah ini, bahkan menyiapkan balasan yang buruk.

Imam Adz-Dzhabi dalam buku Dosa Dosa Besar (2007: 19) menyebutkan, Rasulullah bersabda, “Barangsiapa berlaku riya Allah akan memperlihatkan keburukannya. Dan barangsiapa berlaku sum'ah Allah akan memperdengarkan aibnya.”

Berhati-hatilah, jangan sampai terjangkiti sum’ah karena tidak ada gunanya menyebut-nyebut kebaikan diri, kalau toh nantinya malah Allah yang memperdengarkan aib-aib kita kepada khalayak.

Untuk menangkal virus sum’ah, ada baiknya kita membiasakan diri bersikap rendah hati. Dan jangan lupa menyadari diri kita hanyalah makhluk Tuhan yang teramat lemah dan banyak kekurangannya.

Dan ternyata ada resep yang cukup spektakuler dalam meredam sum’ah ini, sesuatu yang mungkin tidak terduga.

Aid Abdullah Al-Qarny dalam buku Jangan Takut Hadapi Hidup (2013: 346) menerangkan, musibah tersebut merupakan penyucian terhadap hati, cara berpikir, dan jalan hidup dari segala bahaya baik yang berupa riya, sum’ah, maupun gila ketenaran yang sering menimpa seorang hamba.

Jadi, syukurilah musibah, apapun itu bentuknya. Memang bagus kalau kita berhasil menghindari musibah, akan tetapi bila tak terhindarkan lagi, jangan pula berkecil hati. Karena musibah itu dapat pula menjadi obat psikologis, di antaranya dengan menggunakannya untuk mengikis virus sum’ah.

Musibah demi musibah itu hendaknya menyadarkan kita, kebaikan yang digaung-gaungkan selama ini tidak lebih dari ibarat melempar bola ke tembok. Makin keras kita melemparnya maka sekeras itu pula yang akan balik menghajar muka kita sendiri.

Dengan menyadari bahaya sum’ah, maka kita tidak perlu menggemakan kehebatan diri kepada publik, karena toh kita hanyalah makhluk kerdil di alam semesta yang dahsyat ini.

Bahkan, tatkala mendengar puja-puji terhadap kebaikan kita, alih-alih berbangga hati, kita malah berani mengucapkan, “Sesungguhnya keburukan diriku amatlah banyak, hanya saja selama ini Allah telah menutupinya.”

Hanya mereka yang mengalami krisis rasa percaya diri yang terjebak dalam sum’ah. Sedangkan mereka yang benar-benar percaya diri maka dirinya tidak butuh decak kagum pihak lain, dan tentunya tidak akan konyol menyiarkan kebaikan dirinya kepada publik. Cukuplah Allah yang menilai siapa diri kita yang sesungguhnya.

Surat Fushilat ayat 33, yang artinya, “Dan siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah dan mengerjakan kebajikan dan berkata, ‘Sungguh, aku termasuk orang-orang muslim (yang berserah diri)?”

Apabila ingin meraih perkataan yang baik, maka janganlah menyebut-nyebutkan kebaikan diri sendiri, lebih baik menyeru manusia menaati Allah, lalu melakukan kebaikan dan tidak lupa mengatakan kita berserah diri hanya pada Tuhan. Daripada terjangkiti sum’ah lebih baik kita mengamalkan ayat ini!
    
 

 




Menyambungkan Jiwa dengan Al-Qur’an

Sebelumnya

Sempurnakan Salatmu Agar Terhindar dari Perbuatan Keji dan Mungkar

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Artikel Tadabbur