Jaya Suprana/Ist
Jaya Suprana/Ist
KOMENTAR

SEBELUM serial angkamologi masuk ke angkamologi angka enam, mari kita coba simak sebenarnya apa yang disebut sebagai angkamologi itu. Satu di antara pembelajaran yang lahir pada masa pageblug Corona akibat saya memperoleh banyak waktu untuk belajar adalah angkamologi.

Sama halnya kriminologi bukan ilmu berbuat kriminal, namun ikhtiar mempelajari apa yang disebut sebagai kriminal, maka angkamologi juga bukan ilmu membuat angka namun sekadar ikhtiar mempelajari apa yang disebut sebagai angka.

Akibat angka dalam bahasa Latin adalah numerus, maka muncul istilah numerology, namun angkamologi tidak sama dengan numerology. Sementara numerology berupaya mengilmiahkan tahayul, maka angkamologi sekadar suatu ikhtiar mempelajari angka.

Silakan cemooh angkamologi mengada-ada sebab memang berupaya mengada-adakan sesuatu yang belum ada. Silakan tuduh angkamologi sekadar istilah lain bagi number theory sebab memang serupa tapi tak sama.

Angkamologi tidak berambisi sok akademis meski atau justru sengaja menghindari dogma demi tidak menyeragamkan, apalagi membakukan demi membekukan tafsir terhadap apa yang disebut sebagai angka. Angkamologi tidak mengikatkan diri pada metodologi penelitian tertentu maupun tidak tertentu sesuai kirakiramologi sebab terbuka bagi siapa saja untuk mempelajari angka sesuai kehendak masing-masing.

Satu-satunya kesepakatan para angkamolog adalah apa yang sudah terlanjur disepakati untuk disebut sebagai angka. Kesepakatan perlu agar dalam berkomunikasi para angkamolog tidak harus membuat kesepakatan baru, sebab bisa kalau mau memanfaatkan kesepakatan yang sudah disepakati.

Akibat angka memang termasuk di dalam apa yang disebut sebagai matematika, maka dengan sendirinya para angkamologiwan terpaksa tunduk pada kesepakatan yang sudah dijalin oleh para matematikawan. Kecuali sang angkamolog berjaya menemukan teori baru yang mampu melepaskan diri dari teori-teori matematika yang sudah ada. Agar bisa bergerak lebih dinamis dan tidak terperangkap belenggu ambisi kewibawaan maupun kekuasaan, maka angkamologi menghindari apa yang disebut dogma.

Pada hakikatnya angkamologi demokratis, maka terbuka bagi siapa saja tanpa batasan usia, jenis kelamin, etnis, suku, ras, agama, politik, keilmuan apalagi kepercayaan. Setiap insan manusia dikelilingi oleh angka-angka mulai angka tanggal, bulan, tahun, jam kelahiran, nomor account bank, kalender, jam, NPWP, urutan saudara, nominal gaji, utang, piutang, nomor rumah, kode pos sampai angka keberuntungan atau kesialan secara beda satu dengan lain-lainnya.

Akibat terkait keyakinan, maka angkamologi menganut paham angkamu angkamu, angkaku angkaku agar jangan ada yang dumeh alias terkebur yakin angkanya lebih menarik, lebih bagus, lebih indah apalagi lebih benar ketimbang angka orang lain.

Saya memang sudah mulai menulis serial naskah angkamologi, namun bukan berarti orang lain tidak boleh, apalagi tidak berhak menafsirkan angkamologi berdasar kehendak dan selera masing-masing. Justru andaikata angkamologi saya sama dengan angkamologi orang lain, maka suasana malah seragam, maka membosankan. Saya yakin setiap insan manusia termasuk anda dan saya berhak asasi memiliki atau tidak memiliki tafsir dan keyakinan terhadap apa yang disebut sebagai angka yang beda dengan orang lain. Meski tidak ada paksaan untuk harus beda.

Maka silakan masing-masing insan menafsirkan atau tidak menafsirkan angka misalnya satu berdasar keyakinan, pengalaman, kebutuhan, kehendak, imajinasi dll berdasar telaah dengan menggunakan lensa filosofis, religius, tahayul, ekonomis, politis, emosional, atau apapun. Makin beranekaragam tafsir angkamologi (termasuk tidak ada tafsir angkamologi), makin semarak aura yang terpancar dari angkamologi bak aneka warna pelangi selaras falsafah Empu Tantular Bhinneka Tunggal Ika.

Penulis adalah pembelajar apa yang disebut pemikiran
 




Viral, Seorang Terapis Diduga Lakukan Kekerasan kepada Anak Penyandang Autisme

Sebelumnya

Menggratiskan Tes PCR Pasti Mampu Jika Mau

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Baca Juga

Artikel Jaya Suprana