Jaya Suprana/Net
Jaya Suprana/Net
KOMENTAR

PADA masa karantina diri di dalam rumah demi mematuhi protokol kesehatan akibat pagebluk corona, saya memperoleh cukup banyak kesempatan untuk bernostalgia. Saya teringat pada masa kanak-kanak, akibat saya memang nakal maka teman-teman sebaya kerap menyemooh saya dengan sebutan “monyet”.

Balas Dendam

Meski sepak-terjang saya memang mirip monyet, namun disebut “monyet” saya merasa tersinggung maka melakukan balas dendam dengan menyebut teman yang tubuhnya lebih kecil “kunyuk” dan teman yang lebih besar “gorila”, sementara teman yang terlalu lebih besar saya diamkan saja agar tidak menimbulkan dampak tak diinginkan.

Semula saya meyakini tindakan balas dendam adalah tepat dan benar sebagai bukti bahwa saya seorang pemberani dan perkasa serta masih punya harga diri. Jika saya tidak balas dendam berarti saya lemah dan tidak punya harga diri!

Jihad Al Nafs

Sampai dengan pada suatu hari saya ditegur oleh ayah ketika beliau memergoki saya menghujat teman teman sebagai kunyuk atau gorila.

Ayah saya menganggap sebutan satwa terhadap sesama manusia sebagai perilaku tidak beradab. Sebutan satwa merupakan penghinaan terhadap manusia sementara tidak ada manusia suka dihina.

Jika saya tidak suka dihina, seharusnya saya juga jangan menghina orang lain. Di sisi lain balas dendam alih-alih bermanfaat menyelesaikan malah bermudarat memperparah hubungan manusia dengan sesama manusia untuk saling balas dendam sampai akhir jaman.

Teguran ayah saya perhatikan maka kemudian setiap kali saya disebut monyet, saya berusaha melakukan Jihad al Nafs.

Saya berupaya menaklukkan hawa nafsu diri sendiri untuk tidak merasa tersinggung apalagi balas dendam menyebut penyebut saya monyet sebagai kunyuk atau gorila.

Juga sambil menghibur diri dengan keyakinan bahwa pada hakikatnya menurut peradaban leluhur India dan China sebutan monyet bagi saya berarti menyamakan saya dengan Anoman atau Sun Go Kong yang luar biasa sakti mandraguna sehingga sangat dihormati oleh manusia bahkan para dewa!

Satwa

Perjuangan Jihad-Al-Nafs di masa kini menjadi makin berat. Di tengah suasana sosio-politis yang terbecah-belah akibat politik polarisasi di Tanah Air Udara tercinta, gegara persahabatan malah saya makin terpaksa menghadapi ancaman sebutan satwa. Akibat bersahabat dengan Joko Widodo, Mahfud MD, Luhut Panjaitan, Moeldoko, Puan Maharani, Hasto Kristianto, Hendrawan Supratikno, dll maka saya dihujat sebagai cebong. Akibat bersahabat dengan Prabowo Subianto, Fadli Zon, Fahry Hamzah, Dahnil Simanjuntak, Rocky Gerung, Ahmad Dhani, maka saya dihujat sebagai kampret.

Akibat tidak menghujat Anies Baswedan, Habib Rieziq, Din Syamsuddin maka saya dihujat sebagai kadal gurun.

Penghormatan

Berdasar kenyataan para mahluk hidup yang namanya digunakan untuk mencemooh saya, seharusnya saya tidak merasa tersinggung namun malah tersanjung akibat memperoleh kehormatan disamakan dengan mahluk-mahluk ciptaan Yang Maha Kuasa yang masing-masing memiliki kelebihan karakteristika kaliber unggul.

Cebong adalah mahluk hidup yang imut sebagai bagian dari proses metamorfosa mahluk hidup yang sangat amat ajaib sebelum menjadi kodok sebagai satwa amfibiah memiliki peran sangat penting di dalam ekosistem planet bumi.

Tanpa kodok ekosistem marcapada ambyar. Kampret adalah jenis mamalia yang mampu terbang serta memiliki kesaktian penginderaan audio visual tidak kalah mandraguna ketimbang teknologi radar tercanggih buatan manusia.

Berdasar pengamatan ekobiologis terhadap kehidupan di gurun pasir, kadal gurun justru merupakan mahluk hidup memiliki daya bertahan hidup luar biasa dahsyat di lingkungan sangat tidak kondusif.

Kadal gurun berkemampuan hibernasi di dalam pasir di gurun pasir dalam kurun waktu berkepanjangan yang tidak dimiliki sembarang satwa.

Ikhlas

Demi mematuhi makna adiluhur yang terkandung pada teguran ayah, maka kini dengan susah-payah saya berupaya menunaikan Jihad Al Nafs demi berupaya legowo demi ikhlas menerima segenap cemooh apa pun terhadap saya.

Dengan susah-payah saya berusaha bersikap legowo demi ikhlas menerima disebut monyet, anjing, cebong, kampret, kaldrun, kaldran, kaldrin atau apa pun tanpa kebencian apalagi hasrat melakukan balas dendam.

Apalagi ibunda saya mengingatkan bahwa orang yang menyebut saya sebagai satwa pasti merasa bahagia bisa melakukannya. Dengan mengikhlaskan diri saya disebut satwa berarti saya memberi kesempatan bagi para penyebut satwa untuk merasa bahagia.

Kebahagiaan terluhur memang bukan membahagiakan diri sendiri namun orang lain. Maka demi membahagiakan orang lain maka saya wajib lebih berupaya mengutamakan kasih sayang ketimbang kebencian dengan segenap manifestasi perasaan buruk seperti tersinggung, amarah, jengkel, sakit hati, dendam dan yang sejenisnya.

Di sisi lain, saya juga harus banyak belajar bersikap sabar dari para satwa yang terbukti tidak tersinggung ketika sebutan mereka digunakan untuk menyemooh manusia. Memalukan apabila saya sampai kalah beradab ketimbang satwa.

Penulis adalah pendiri Sanggar Pembelajaran Kemanusiaan




Viral, Seorang Terapis Diduga Lakukan Kekerasan kepada Anak Penyandang Autisme

Sebelumnya

Menggratiskan Tes PCR Pasti Mampu Jika Mau

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Baca Juga

Artikel Jaya Suprana