Foto : Istimewa
Foto : Istimewa
KOMENTAR

Kini Masjid Agung Surabaya yang menjawabnyi dengan serius. Dengan praktik di kenyataan. Berarti hari itu begitu banyak setan yang ke Masjid Agung Surabaya.

Khotbah hari itu juga pendek. Disesuaikan dengan zaman Covid-19. Doa yang dibaca imam yang agak panjang. Tapi doa hari itu sangat mengharukan --doa tolak bala. Cara melantunkan doanya pun sangat syahdu. Sangat memerindingkan kuduk. Doa qunut itu terasa daruratnya. Banyak jamaah yang ikut tersedu.

Khotib hari itu adalah KH Husen Rifa'i. Beliau adalah pengasuh Pondok Pesantren Jabal Noer, Geluran, Taman, Sidoarjo.

Ketika salat Jumat selesai, hujan pun turun. Kejadian itu memberi pelajaran baru. Ternyata masih ada titik kelemahan: jamaah menggerombol di dekat pintu --menunggu hujan reda.

Takmir masjid sigap. Diumumkanlah agar jamaah tetap menjaga jarak. Tidak boleh menggerombol. Lebih baik kembali ke tempat salat masing-masing. Menunggu hujan reda sambil membaca Alquran.

Seruan itu ditaati. Semua kembali ke tempat salat. Membaca Alquran lewat layar ponsel masing-masing.

Setelah hujan reda terlihat lagi kekurangan: orang bergerombol untuk mencari sandal/sepatu masing-masing.

"Kami menemukan kelemahan itu. Kami akan atasi," ujar Helmy Noor, pengurus Masjid Agung Surabaya.

Helmy adalah alumni Pondok pesantren Bahrul Ulum Tambak Beras, Jombang. Lalu melanjutkan ke Sospol Universitas Darul Ulum, juga di Jombang.

"Jumat depan masing-masing jamaah membawa kantong plastik. Sandal/sepatu dimasukkan kantong. Ditaruh di sebelah masing-masing," ujarnya.

Ide itu mengingatkan saya ketika ke pusat Budha Tzu Chi di Hualien, pantai timur Taiwan. Semua orang juga harus melepas sepatu. Tapi takmirnya menyediakan kantong kain.

"Kami juga akan sediakan. Siapa tahu ada jamaah yang lupa membawanya," ujar Helmy.

Masjid Agung Surabaya memang besar sekali. Sangat memungkinkan untuk pengaturan seperti itu.

Cara itu akan sulit dilakukan di masjid kecil --yang ketika tanpa jaga jarak pun sudah penuh.

Masjid besar Al Falah pun akan kesulitan mengatur seperti itu --dan memilih tidak mengadakan salat Jumat. Apalagi karpet tebal di Al Falah itu tidak bisa dibuka. Menyatu dengan lantai.

Di Al Falah Jalan Raya Darmo Surabaya itu tanpa jaga jarak pun sudah membeludak. Entahlah kalau salat Jumatnya pakai sistem kuota. Tapi sulit juga membagi kuotanya: hanya yang tua? Hanya yang muda? Ganjil genap --berdasar tahun kelahiran?

Kok jadinya repot ya?

Keseluruhan hidup itu memang repot. Karena itu diperlukan keberanian untuk hidup.




Cerita Pengalaman Vloger asal China Menginap di Hotel Super Murah Hemat Bajet

Sebelumnya

Muara Yusuf

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Artikel Disway