GELOMBANG unjuk rasa kembali mengguncang Gedung DPR/MPR RI, Senayan, Jakarta Pusat, Senin (25/8). Ribuan mahasiswa, pelajar, hingga masyarakat sipil turun ke jalan membawa pesan keras: demokrasi kian terkikis, sementara wakil rakyat justru sibuk mengurus kenaikan tunjangan. Ironi mencuat—ketika rakyat terhimpit biaya hidup, anggota dewan malah terlihat bahagia.
Aksi yang awalnya damai—ditandai tabur bunga dan lantunan salawat sebagai simbol “berduka atas matinya demokrasi”—berubah ricuh. Gas air mata, petasan, dan water cannon mewarnai sore itu. Jalan Gatot Subroto macet total, KRL terganggu, hingga tol sempat lumpuh.
Massa dari Gerakan Mahasiswa Bersama Rakyat membawa spanduk besar “Indonesia Sold Out”, mengingatkan betapa akses pendidikan semakin mahal dan aset negara dikuasai segelintir elite. DIkutip dari Kompas, mereka menuntut pengesahan RUU Perampasan Aset, menolak komersialisasi pendidikan, dan mengakhiri praktik korupsi serta oligarki.
Namun di balik tuntutan itu, amarah rakyat sejatinya bermula dari kabar kenaikan gaji dan tunjangan anggota DPR yang nilainya mencapai lebih dari Rp100 juta per bulan. Publik marah karena di tengah banyaknya pemutusan hubungan kerja (PHK), harga kebutuhan pokok yang merangkak, serta biaya pendidikan yang mencekik, justru para wakil rakyat mendapat fasilitas melimpah. Puncaknya, tunjangan rumah sebesar Rp50 juta per bulan menambah bara kemarahan.
Wakil Ketua DPR, Sufmi Dasco Ahmad, buru-buru memberi klarifikasi bahwa tunjangan itu hanya berlaku setahun, dari Oktober 2024 hingga Oktober 2025, lalu digunakan untuk kontrak rumah lima tahun ke depan. Namun penjelasan itu tak serta-merta meredakan kekecewaan publik. Bagi rakyat, fakta bahwa tunjangan fantastis ini sempat diberikan sudah cukup menunjukkan jarak antara kehidupan wakil rakyat dan penderitaan konstituennya.
Suara-suara di lapangan begitu jelas, seperti dilaporkan BBC. Danar, seorang mahasiswa, menegaskan, “Apakah kita bisa menerima di saat masyarakat kena PHK, gaji anggota DPR justru puluhan sampai ratusan juta?”
Alfin, pengemudi ojek daring, bahkan lantang menuntut DPR dibubarkan. “Kami susah cari uang, tapi DPR gajinya besar sekali,” ujarnya.
Rahmini, buruh pabrik, rela membolos kerja demi bersuara, “Kebijakan pemerintah sering kali bikin masyarakat susah.”
Pertanyaan pun menyeruak: seberapa layak wakil rakyat berpesta pora di atas penderitaan rakyat? Jika tunjangan terus dipertahankan tanpa mempertimbangkan rasa keadilan, maka demokrasi benar-benar hanya tinggal nama.
Gelombang protes 25 Agustus menjadi alarm keras—bahwa rakyat tak akan tinggal diam melihat para elite melupakan mereka yang mestinya diperjuangkan.
KOMENTAR ANDA