Dalam terminologi kebijakan publik, ini bisa diterjemahkan sebagai value-based governance — tata kelola yang tidak semata-mata berbasis efisiensi, tetapi berakar pada nilai-nilai moral, etik, dan spiritual.
Artinya, perumusan kebijakan seharusnya berangkat dari kesadaran bahwa rakyat bukan objek, tapi subjek.
Kemiskinan bukan masalah statistik, tetapi luka kemanusiaan.
Subsidi bukan beban fiskal, tetapi manifestasi cinta sosial. Dan keberpihakan pada yang lemah khususnya kelas menengah yang paling menderita akhir-akhir ini, bukan ancaman bagi pembangunan, melainkan fondasi keberlanjutannya.
Dalam konteks ini, pengorbanan Ibrahim mengingatkan kita: pemimpin sejati bukan yang mampu memaksimalkan manfaat untuk dirinya atau golongannya, tapi yang rela kehilangan demi terwujudnya keadilan yang lebih luas.
Seorang presiden, menteri, atau kepala daerah, ketika memutuskan untuk menolak investor yang ingin menambang di wilayah adat demi menjaga harmoni komunitas, sejatinya sedang “mengorbankan Ismail”-nya.
Keadilan Sosial: Bukan Retorika, Tapi Jalan Penghambaan
Seringkali dalam diskursus kebijakan publik, keadilan sosial hanya hadir sebagai jargon.
Padahal dalam semangat pengorbanan Ibrahim, keadilan adalah bentuk tertinggi dari penghambaan.
Tuhan tidak memerintahkan Ibrahim untuk menyiksa diri, tetapi untuk tunduk kepada nilai.
Maka, ketika negara menindas buruh demi iklim investasi, atau menutup akses pendidikan bagi anak miskin demi efisiensi anggaran, maka sesungguhnya negara telah gagal meneladani Ibrahim.
Keadilan sosial bukan soal distribusi aset semata, melainkan tentang keberanian untuk melihat rakyat sebagai sesama, bukan sebagai statistik.
Ketika seorang pengambil kebijakan lebih takut kehilangan kepercayaan pasar daripada kehilangan kepercayaan rakyat, ia telah menjadikan “pasar” sebagai tuhan barunya.
Ibrahim mengajarkan sebaliknya: bahwa kekuasaan hanyalah sarana. Bahwa beriman kepada Tuhan berarti juga berani memperjuangkan hak-hak mereka yang tak bersuara, anak yatim, janda miskin, petani kecil, buruh kontrak, nelayan, dan semua yang selama ini dipinggirkan dari meja kebijakan.
Negara yang Mengabdi: Wujud Modern dari Pengorbanan
Pengorbanan Ibrahim bukan perintah untuk menyakiti, melainkan panggilan untuk memuliakan.
Maka negara yang meneladani Ibrahim bukan negara yang menghukum rakyatnya dengan kebijakan menyakitkan demi menyenangkan pasar.
Bukan negara yang berlindung di balik birokrasi dingin untuk menghindari tanggung jawab moral.
Tapi negara yang dengan jernih, penuh kasih, dan berani, mengatakan: “kami memilih jalan sulit, demi kalian.”
Contoh pengorbanan ini bisa dalam bentuk penghentian proyek tambang yang merusak lingkungan dan memiskinkan masyarakat adat.
Menunda pembangunan Ibu Kota baru demi fokus pada peningkatan layanan dasar di daerah tertinggal atau bahkan menolak intervensi oligarki dalam perencanaan APBN.
Apakah mungkin? Tentu saja. Asalkan negara bersedia “meletakkan pisaunya”, seperti Ibrahim meletakkan pisaunya atas perintah Tuhan, ketika sudah terbukti bahwa ia lulus ujian moral itu.
Menghidupkan Ibrahim dalam Sistem Negara
Kisah Ibrahim bukan untuk dikagumi, tapi untuk dihidupi.
Terutama oleh mereka yang memegang kendali atas nasib banyak orang: para pengambil kebijakan.



KOMENTAR ANDA