Oleh: Achmad Nur Hidayat, Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik, UPN Veteran Jakarta
Apa yang harus dikorbankan oleh seorang pemimpin demi rakyatnya?
DI tengah hiruk-pikuk pemberitaan elit kekuasaan, kepentingan ekonomi elite, dan perumusan kebijakan yang seringkali jauh dari denyut nadi rakyat, pertanyaan itu menggantung di udara seperti azan yang memecah subuh: jernih, tajam, dan mendesak.
Pengorbanan Ibrahim — sosok nabi yang mewakili keberanian menundukkan ego dan menyerahkan yang paling dicintai kepada kehendak ilahi — bukan hanya kisah spiritual semata.
Ia adalah refleksi tentang bagaimana kekuasaan seharusnya digunakan: tidak untuk melanggengkan kepentingan diri atau golongan, melainkan untuk tunduk kepada nilai-nilai ketuhanan, keadilan, dan kemanusiaan.
Namun, apakah negara, sebagai entitas berkuasa, memiliki kapasitas untuk “berkorban” seperti Ibrahim?
Ibrahim dan Negara: Antara Cinta, Kekuasaan, dan Ujian
Ibrahim diperintahkan untuk mengorbankan Ismail — anak yang lahir setelah penantian panjang, lambang cinta dan harapan.
Perintah itu melampaui logika manusiawi. Tapi Ibrahim, dengan keikhlasan dan keberanian spiritual, membuktikan bahwa ketaatan pada nilai luhur mengalahkan keterikatan pada hasrat pribadi.
Kita tahu, pengorbanan itu akhirnya tidak dilakukan secara fisik. Tuhan “mengganti” Ismail dengan domba kibas, namun “mengukuhkan” pengorbanan itu sebagai puncak kepatuhan dan keikhlasan.
Sekarang mari kita bayangkan: jika Ibrahim adalah negara, dan Ismail adalah kekuasaan, aset, atau kepentingan elite, maka apakah negara bersedia “mengorbankan” Ismail demi nilai-nilai ilahiah dan kemanusiaan?
Inilah tantangannya. Dalam ranah kebijakan publik, pengorbanan bukanlah soal menumpahkan darah, melainkan tentang melepaskan privilese, menunda kepentingan ekonomi, atau bahkan menolak proyek besar yang secara politis menguntungkan tetapi menyengsarakan rakyat kecil.
Dalam tafsir ini, ujian bagi pemimpin dan institusi negara adalah: mampukah mereka, seperti Ibrahim, tunduk pada panggilan moral dan keadilan, alih-alih mempertahankan apa yang paling mereka cintai — kekuasaan, keuntungan, dan kontrol?
Negara dan “Ismail-Ismail” Kekuasaan
Bayangkan sebuah bendungan yang akan menenggelamkan desa adat.
Atau proyek infrastruktur yang menggusur ribuan rumah rakyat kecil demi jalan tol yang lebih cepat.
Atau subsidi energi yang dicabut demi “efisiensi fiskal,” tapi mengorbankan daya beli kaum miskin.
Semua itu adalah “Ismail” negara — anak kandung dari kebijakan pembangunan.
Meninggalkan proyek-proyek itu seringkali dianggap mustahil, bahkan “kafir” dalam logika pembangunan.
Tapi mungkin justru di situlah ujian moralnya.
Seperti Ibrahim, negara dihadapkan pada pilihan yang menyakitkan: melanjutkan proyek demi reputasi, pertumbuhan, atau rating utang, atau menyudahinya demi keadilan sosial, pelestarian komunitas adat, atau keselamatan ekologis?
Dan seperti Ibrahim, negara seharusnya memiliki keberanian untuk memilih yang kedua.
Visi Kepemimpinan yang Bertuhan dan Berkeadilan
Ibrahim bukan sekadar nabi. Ia adalah simbol dari kepemimpinan profetik: seorang pemimpin yang tidak hanya berorientasi pada hasil duniawi, tetapi pada kemuliaan nilai.
KOMENTAR ANDA