Ilustrasi seorang perempuan yang tersenyum. (Freepik)
Ilustrasi seorang perempuan yang tersenyum. (Freepik)
KOMENTAR

PUASA telah lama menjadi bagian penting dalam kehidupan kaum muslimin, bukan hanya sebagai bentuk ibadah tetapi juga sebagai sarana pengendalian diri dan pembersihan jiwa. Di tengah fenomena puasa yang kian populer, baik di bulan Ramadan maupun melalui praktik puasa sunah, muncul suatu pemikiran menarik, bagaimana jika puasa bisa dijalani tanpa disertai rasa lapar yang menyiksa?

Lapar Hanya Ada di Pikiran?

Beberapa orang yang rajin berpuasa mengaku bahwa mereka tidak merasakan lapar secara mendalam. Menurut mereka, rasa lapar itu hanya “ada di pikiran” dan dapat diatasi dengan mengalihkan fokus pada aktivitas lain. Sebuah contoh menarik datang dari seorang pedagang rumah makan Padang. Meski dikelilingi oleh aroma masakan yang menggugah selera, ia justru tidak terganggu oleh rasa lapar karena pikirannya sangat tersita oleh kesibukan dan pekerjaan.

Fenomena ini menegaskan bahwa dengan menata pikiran dan menyibukkan diri dapat memengaruhi persepsi tubuh terhadap rasa lapar. Dengan mengalihkan perhatian kepada aktivitas produktif, otak cenderung “mengabaikan” sinyal lapar yang sebetulnya merupakan proses alami tubuh dalam mengatur energi. Selain itu, sebetulnya tubuh kita memiliki cadangan lemak yang berfungsi sebagai sumber energi cadangan, yang kemudian bisa dioptimalkan saat menjalani puasa. Dengan demikian, lapar bukanlah sesuatu yang menyiksa, bahkan bisa diabaikan.

Lapar Sebagai Anugerah

Tak sedikit pula yang memandang rasa lapar sebagai suatu anugerah dalam menunaikan ibadah puasa. Bagi sebagian kalangan, rasa lapar yang muncul adalah momentum untuk bersyukur sekaligus introspeksi diri. Saat lapar datang, mereka mengarahkan rasa itu dengan mengingat nasib kaum fakir miskin yang hidupnya seringkali mengalami kelaparan. Bagi kalangan ini, rasa lapar diubah menjadi pendorong untuk meningkatkan keimanan dan ketakwaan, sekaligus sebagai bentuk pengingat untuk tidak berlebihan dalam hidup.

Di sisi lain, dari perspektif kesehatan, muncul teori yang mendukung manfaat puasa yang mana rasa lapar itu terasa ringan di perut. Praktik puasa seperti intermittent fasting dipercaya dapat memicu autophagy, yaitu proses di mana tubuh membersihkan sel-sel yang rusak dan menggantinya dengan sel-sel yang baru dan lebih sehat. Dengan demikian, rasa lapar yang terkendali tidak hanya berdampak pada aspek spiritual, tetapi juga memberikan efek penyembuhan dan regenerasi bagi tubuh. Sehingga rasa lapar bukan lagi dipandang sebagai bencana melainkan sesuatu yang bermanfaat bagi diri.

Inspirasi Nabi

Sejarah Islam mempunyai kisah inspiratif tentang ketahanan dalam menghadapi kelaparan. Nabi Muhammad saw. pernah mengalami masa-masa kelaparan massal bersama penduduk Madinah ketika Madinah dikepung oleh pasukan Ahzab, yang merupakan persekutuan berbagai kelompok, termasuk kaum Yahudi, Quraisy, dan suku-suku Arab lainnya. Dalam kondisi yang sangat sulit, ada seorang pria yang hingga mengikat batu ke perutnya untuk mengurangi rasa lapar yang mendera.

Syekh Shafiyurrahman Al-Mubarakfuri pada buku Ar-Rahiq Al-Makhtum-Sirah Nabawiyah (2015, 349) mengungkapkan:

Abu Thalhah menuturkan, “Kami mengadukan rasa lapar kami kepada Rasulullah. Kami mengganjal perut dengan sebongkah batu, dan Rasulullah mengganjal perut beliau dengan dua bongkah batu.”

Momen tersebut bukanlah tanda kelemahan, melainkan bukti bahwa keimanan dan semangat untuk bertahan hidup dapat mengatasi penderitaan. Bahkan, Rasulullah sendiri pernah menggunakan metode sederhana, yaitu mengikatkan dua batu pada perut, untuk mengendalikan rasa lapar, tanpa mengurangi semangat perjuangan dalam mempertahankan kota Madinah. Kisah ini mengajarkan bahwa ketabahan dan kepercayaan kepada rencana Ilahi dapat mengubah penderitaan menjadi kekuatan dan keberkahan.

Apabila dihubungkan dengan ibadah puasa, maka kondisinya tidaklah seekstrem seperti kelaparan parah yang dialami Nabi Muhammad dan penduduk Madinah yang dikepung musuh dalam kurun waktu yang lama. Selama sahur dan berbuka dengan normal, insya Allah tidak aka nada rasa lapar yang memayahkan diri.

Konsep Puasa Tanpa Lapar

Di era modern ini, tren intermittent fasting semakin diminati setelah terbukti manfaatnya bagi kesehatan. Banyak praktisi kesehatan dan nutrisi menyarankan bahwa intermittent fasting dengan pengaturan waktu yang tepat dapat membantu membersihkan tubuh, meningkatkan metabolisme, serta mencegah berbagai penyakit kronis.

Bagi kaum muslimin, sudah tersedia ibadah puasa Ramadan dan puasa-puasa sunah lainnya yang besar sekali khasiatnya terhadap kesehatan. Dengan pendekatan yang tepat, rasa lapar pun dapat dikelola secara mental, sehingga puasa tidak dirasakan sebagai penderitaan, melainkan sebagai kesempatan untuk menyehatkan jasmani dan rohani.

Puasa tanpa lapar, meskipun terdengar mengejutkan bagi sebagian orang, tetapi menawarkan perspektif baru dalam menjalani ibadah. Dengan mengalihkan fokus pikiran dan memanfaatkan potensi cadangan energi tubuh, seseorang dapat merasakan puasa yang ringan dan penuh berkah.

Rasa lapar, jika dipahami dengan benar, bukanlah musuh, melainkan anugerah yang mengajarkan kita untuk bersyukur, introspeksi, dan memperkuat iman. Sejarah dan ilmu kesehatan modern sama-sama menunjukkan bahwa puasa bukan hanya tentang menahan lapar, tetapi juga tentang membangun ketahanan diri, baik secara fisik maupun mental.




Ingat Akhiratmu, Maka Duniamu Terasa Mudah

Sebelumnya

Jauhkan Kami dari Zalitun

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Artikel Tadabbur