Hendaklah kita tidak boros tapi juga tidak kikir dalam menggunakan harta/Freepik
Hendaklah kita tidak boros tapi juga tidak kikir dalam menggunakan harta/Freepik
KOMENTAR

DALAM perjalanan hidup ini, seringkali kita menemui fenomena unik yang mungkin sulit dipahami oleh akal sehat, yaitu kekikiran seseorang terhadap dirinya sendiri.  

Secara alamiah kita memang tidak menyukai orang pelit, yang begitu keras menahan hartanya. Namun kikir terhadap diri sendiri merupakan level yang menyeramkan, karena diri kita juga mempunyai hak-haknya.

Sa’id Hawwa dalam kitab Mensucikan Jiwa Tazkiyatun Nafs (2020: 251-252) mengungkapkan:

Demikian pula kekikiran bisa mencapai pada tingkat bahwa ia kikir terhadap dirinya sendiri sekalipun sangat diperlukannya. Betapa banyak orang kikir yang memiliki harta lalu ketika sakit ia tidak mau berobat, atau sangat menginginkan sesuatu tetapi kekikiran telah menghalanginya untuk membayar harganya: seandainya gratis pasti ia akan segera memakannya.

Orang ini kikir terhadap dirinya sendiri sekalipun ia sangat memerlukannya. Sedangkan orang lain mengutamakan orang lain ketimbang dirinya sendiri sekalipun ia sendiri sangat memerlukannya. Perhatikanlah perbedaan antara dua orang tersebut!

Fenomena ini memunculkan pertanyaan yang mendalam tentang bagaimana manusia seringkali lebih memprioritaskan kekikiran terhadap diri sendiri daripada pemenuhan kebutuhan yang sebenarnya vital.

Meskipun memiliki kekayaan atau keinginan yang begitu dibutuhkan, namun tindakan kikir terhadap diri sendiri membuat seseorang menolak untuk berinvestasi pada kesejahteraan pribadinya.

Penting untuk memahami bahwa kekikiran terhadap diri sendiri dapat merugikan bukan hanya dari segi fisik, tetapi juga secara spiritual dan emosional.

Sa’id Hawwa menyoroti ketidakseimbangan yang terjadi antara seseorang yang kikir terhadap dirinya sendiri, bahkan ketika ia sangat memerlukan sesuatu, dengan seseorang yang justru mengutamakan orang lain meskipun ia sendiri sangat memerlukannya.

Perbedaan antara kedua tipe individu ini memberikan kita pelajaran tentang altruisme dan kepedulian terhadap diri sendiri. Seseorang yang mampu melihat kebutuhan dirinya sendiri dan mengambil tindakan yang tepat untuk memenuhinya telah menunjukkan kebijaksanaan dan kepedulian terhadap kesejahteraan pribadi.

Di sisi lain, orang yang lebih memilih mengutamakan kebutuhan orang lain daripada dirinya sendiri, bahkan jika ia sendiri sangat memerlukan, menunjukkan puncak dari kedermawanan dan kepedulian yang luar biasa.

Kita dapat menarik hikmah dari pemahaman ini untuk merenungkan perilaku kita sendiri dalam mengelola kekayaan, kesehatan, dan keinginan. Apakah kita cenderung menjadi kikir terhadap diri sendiri, menolak untuk berinvestasi pada diri sendiri, atau sebaliknya, kita mampu menemukan keseimbangan yang tepat antara memenuhi kebutuhan diri sendiri dan memberikan pada orang lain.

Al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalani dalam bukunya Terjemah Kitab Bulughul Maram (2016: 524) menerangkan:

Perilaku manusia di dunia ini terdiri dari tiga klasifikasi: boros, taqshir (mengurang-ngurangi) alias bakhil dan ekonomis (berhemat/sedang-sedang saja). Klasifikasi pertama dan kedua merupakan prilaku tercela sedangkan klasifikasi ketiga adalah prilaku terpuji.

Klasifikasi pertama, boros (israf) adalah tindakan yang berlebih-lebihan di dalam membelanjakan harta baik yang bersifat dibolehkan ataupun yang bersifat diharamkan; ini semua adalah keborosan yang amat dibenci.

Klasifikasi kedua, taqshir (mengurang-ngurangi) alias bakhil; orang yang bersifat seperti ini suka mengurang-ngurangi pengeluaran baik yang bersifat wajib ataupun yang dianjurkan yang sesungguhnya sesuai dengan tuntutan muru’ah (harga diri).

Klasifikasi ketiga, ekonomis dan sistematis; orang yang bersifat seperti ini di dalam membelanjakan harta yang bersifat wajib yang terkait dengan hak-hak Allah dan makhluk melakukannya dengan sebaik-baiknya; apakah itu pengeluaran-pengeluaran biasa ataupun utang piutang yang wajib. Demikian pula, melakukan dengan sebaik-baiknya pengeluaran yang bersifat dianjurkan yang sesuai dengan tuntutan muru’ah (harga diri).

Melalui klasifikasi perilaku ini, Al-Asqalani mengajak kita merenung tentang bagaimana kita memperlakukan harta yang telah Allah anugerahkan. Kita diajak untuk menghindari perilaku boros dan bakhil yang ekstrem, dan sebaliknya, dianjurkan untuk menjalani kehidupan ekonomis yang berimbang dan sesuai dengan nilai-nilai moral dan agama.

Kikir terhadap diri sendiri merupakan bentuk kezaliman yang sayangnya justru dilakukan terhadap diri kita sendiri. Tentunya hal yang tidak baik ini perlu dihentikan dengan keseimbangan; tidak boros dan tidak pula bakhil.




Hubbu Syahwat

Sebelumnya

Bukankah Aku Ini Tuhanmu?

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Baca Juga

Artikel Tadabbur