Beberapa musisi membawakan salah satu lagu dalam album Sonic/Panic/Zonaebt
Beberapa musisi membawakan salah satu lagu dalam album Sonic/Panic/Zonaebt
KOMENTAR

PERUBAHAN iklim yang terjadi belakangan ini, dan sebenarnya sudah terjadi sejak beberapa tahun lalu, kurang mendapat perhatian serius dari masyarakat di dunia. Padahal, perubahan iklim memiliki peran penting dalam kehidupan manusia.

Mencoba untuk mengambil bagian penting dalam menjaga kerusakan iklim, dan berangkat dari kesadaran serta kekhawatiran akan krisis ini, 13 musisi Indonesia dari berbagai genre bergabung untuk sebuah album kompilasi berjudul Sonic/Panic.

Tiap musisi yang terlibat di album ‘sonic/panic’ membawa karakter dan gaya musik mereka masing-masing. Sebut saja Iga Massardi, Endah N Rhesa, Navicula, Tony Q Rastafara, Tuantigabelas, Iksan Skuter, FSTVLST, Made Mawut, Nova Filastine, Guritan Kabudul, Kai Mata, Rhythm Rebels, dan Prabumi.

Album kompilasi ini diproduksi oleh Alarm Records, label rekaman sadar iklim pertama di Indonesia yang dibentuk oleh ke-13 musisi ini.

Album ‘sonic/panic’ terdiri dari 13 lagu dengan berbagai genre seperti hip-hop, rock, blues, electronica, reggae, pop, hingga world music. Topik yang diangkat di tiap lagu sangat beragam seperti isu krisis iklim, degradasi alam, polusi plastik, dan panggilan untuk aksi nyata secara kolektif.

“Aku paling cengeng sepanjang workshop dan sempat mengalami mental breakdown di hari kedua. Ini merupakan masalah yang berat dan sebagai musisi kami harus punya cara untuk mengekspresikan kekhawatiran dan ketakutan,” ujar Endah Widiastuti.

Rapper Upi atau Tuantigabelas merasakan pengalaman yang hampir sama. “Saya 'menyesal' mengikuti workshop di Bali waktu itu, karena dipaparkan fakta yang banyak dan menakutkan. Hari pertama kami semua masih bisa ngobrol. Hari kedua semua terdiam. Ini bumi bagaimana ya? Faktanya bikin kita bengong,” ujarnya.

Menurut Upi, seluruh lagu dalam album ini merupakan suara terdalam dari para musisi. “Ini adalah lagu yang paling sulit yang pernah saya tulis. Jadi ada khawatir, putus asa, tapi harus punya harapan karena saya punya tiga anak. Saya tidak mau bumi ini habis begitu saja buat generasi berikutnya,” tambahnya.

Sense of Urgency

Dalam kesempatan yang sama, Gede Robi dari band Navicula mengungkapkan bahwa musisi sebagai bagian dari masyarakat juga ingin terlibat dalam menyuarakan isu ini melalui ‘sonic/panic’.

“Sonic adalah audio. Panic ada sense of urgency. Kami sebagai musisi berkontribusi terhadap negara karena tujuan negara memang harus membersihkan emisi Indonesia sesuai target 2060,” ungkap Robi.

Lagu ‘Plastic Tree’ milik Endah N Rhesa misalnya, menggambarkan dunia tanpa pohon, yang digantikan oleh replika plastik. Lagu ini menjadi pengingat yang kuat tentang dampak lingkungan dari tindakan kita. 

“Kami membawa imajinasi jika di dunia ini tidak ada pohon, tidak ada burung yang bernyanyi, ayam berkokok, lebah memanfaatkan baterai supaya mereka bisa terbang, segalanya lebih artifisial. Semua jadi mengagumkan tapi menyeramkan. Jangan anggap remeh kemampuan menemukan hal-hal baru, tetapi ada risiko juga. Ada kemegahan, ada kehancuran, ketakutan. Jadi mixed feelings,” ujarnya.

Album yang cover artworknya didesain oleh Sirin Farid Stevy, visual artist sekaligus vokalis band FSTVLST, akan segera diluncurkan serentak di seluruh platform streaming digital pada 4 November mendatang.

Sebelum peluncuran, pendengar dapat melakukan pra-simpan album ‘sonic/panic’ di Spotify.




Penyair Joko Pinurbo, Celana, dan Jejak Mendalam di Dunia Sastra Indonesia

Sebelumnya

5 Fakta Film Badarawuhi yang Disebut-sebut Lebih Horor dari KKN di Desa Penari

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Artikel Entertainment