Mahar yang mudah tidak selalu mahar yang murah/Net
Mahar yang mudah tidak selalu mahar yang murah/Net
KOMENTAR

SEORANG perempuan cantik dipuji, disebabkan maharnya yang ringan. Dia tidak berat dalam menuntut mahar. Itulah sebaik-baiknya calon istri.

Fikih Islam memang mengarahkan mahar yang ringan. Jangan sampai pernikahan menjadi terhalang disebabkan terkendala mahar. Namun, berat atau ringannya mahar tidak bisa dipukul rata. Kemampuan ekonomi setiap lelaki berbeda-beda dan dari itu pula tidak ada standar pasti terkait mahar.

Ingatlah, anjuran perempuan mengutamakan mahar yang ringan itu pun disertai dengan pujian kemuliaan. Ulama fikih juga menganjurkan bagi lelaki muslim mengutamakan kriteria calon istri yang ringan maharnya.

Abdul Qadir Manshur dalam Buku Pintar Fikih Wanita (2012: 216) menerangkan:

Perempuan dengan mahar yang ringan menjadi pertimbangan tersendiri yang mesti diperhatikan dalam memilih seorang istri. Dalam komentarnya terhadap kitab Ihya Ulum al-Din karya al-Ghazali menyebutkan beberapa hadis Nabi.

Rasulullah saw. bersabda, “Sebaik-baik perempuan adalah yang berwajah paling cantik dan yang meminta mahar paling ringan.” (HR. Ibnu Hibban).

Beliau juga bersabda, “Sebaik-baik mereka (perempuan) adalah yang maharnya paling mudah dipenuhi.”

Aisyah meriwayatkan, Rasulullah saw. bersabda, “Perempuan yang membawa berkah adalah yang mudah menikahinya dan sedikit maharnya.”

Bersyukurlah muslimin yang lahir di Indonesia, di mana kebanyakan kaum hawa bermurah hati dalam meminta mahar. Kita sangat terbiasa mendengar mahar seperangkat alat salat, atau Al-Qur’an, dan lainnya.

Namun, perlu pemahaman yang jernih dalam mencermati model mahar yang jamak terjadi di Indonesia. Mahar ringan bukan berarti menyepelekannya.

Kembali dulu kepada hakikat mahar. Bahwa tidak pernah mahar itu bertujuan membeli istri, sebab mahar bukanlah harga seorang perempuan. Mahar adalah suatu bentuk penghormatan dan penghargaan terhadap perempuan. Mahar juga simbol dari bukti kesiapan seorang lelaki memikul tanggung jawab terhadap istri dan rumah tangganya.

Itu berarti, bagaimanapun kondisinya, seorang calon suami hendaknya mengusahakan yang terbaik untuk dijadikan mahar tanpa memberatkan dirinya.

Lantas bagaimana maksud mahar yang ringan itu?

Sekiranya calon suaminya adalah seorang lelaki yang miskin, maka meminta mahar mobil mewah sungguh tidak masuk akal. Sebaliknya, calon suami yang kaya raya hanya menyerahkan mahar mukena, itu terlalu menyepelekan.

Apa standarnya mahar ringan itu?

Permintaan mahar yang termasuk kriteria ringan, yang dipuji Rasulullah itu, adalah yang disesuaikan dengan kemampuan calon suami. Jangan pernah menuntut mahar yang sangat besar, yang pada akhirnya akan memberatkan atau malah membuatnya menderita.

Memang diperkenankan mahar dengan berutang, tapi utang itu pun hendaknya sewajarnya, jangan sampai menjadi beban berat sepanjang hayat. Bayangkan, betapa peliknya masalah jika untuk memenuhi mahar yang mahal seorang suami memikul utang teramat besar yang harus dibayar hingga ajal menjemput.

Benar, Nabi Muhammad pernah menganjurkan mahar bisa dengan cincin besi atau malah dengan bacaan Al-Qur’an. Dalam fikih, jenis mahar itu diperbolehkan. Namun jangan lupa bahwa lelaki yang diberi saran oleh Nabi tersebut berasal dari golongan miskin sekali. Tidak bisa mahar model begini dipukul rata untuk semua lelaki yang hendak menikah.

Sayyid Sabiq dalam buku Fiqih Sunnah 3 (2017: 422) menyebutkan:

Secara hakikat, mahar dlsyariatkan sebagai hak bagi perempuan agar dia dapat mengambil manfaat dari mahar tersebut. Apabila dia rida dengan ilmu, agama, keislaman, dan bacaan Al-Qur’an dari pihak laki-laki (calon suami) maka semua itu termasuk mahar-mahar yang paling baik, paling bermanfaat, dan paling mulia.

Dalam beberapa riwayat disebutkan Nabi mendorong sahabatnya menikah dengan mahar cincin besi, yang tentu harganya tak seberapa. Pada riwayat lain diceritakan sahabat beliau memberikan mahar berupa bacaan ayat-ayat suci.

Tentu saja ulama fikih membolehkan mahar yang sangat ringan tersebut, karena memang Rasulullah sudah membenarkannya. Selama mahar itu bernilai kebaikan dan memiliki faedah, maka mahar itu sah meskipun harganya ringan saja.

Namun, seorang calon suami juga harus menjaga harga diri. Mahar yang terlalu ringan justru dapat menjatuhkan martabatnya. Bagaimana dia akan membela penghidupan keluarga, ketika untuk mahar saja disepelekan. Sebaliknya, perempuan yang mulia hendaklah mendorong calon suami untuk mengusahakan mahar yang tidak memberatkan tapi dapat menegakkan harga dirinya.




Inilah Puasa yang Pahalanya Setara Berpuasa Setahun

Sebelumnya

Saat Itikaf Dilarang Bercampur Suami Istri, Maksudnya Apa?

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Baca Juga

Artikel Fikih