KOMENTAR

PISAH ranjang adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan keputusan pasangan untuk tidur di tempat yang terpisah dalam satu ruangan atau bahkan ruangan yang berbeda.

Keputusan macam begini kadang kala terpaksa diambil ketika pasangan menghadapi permasalahan yang sulit di atasi dalam hubungan mereka.

Sebetulnya pilihan untuk pisah ranjang tidak dimaksudkan sebagai solusi jangka panjang. Sebaiknya dipahami keputusan ini hanyalah langkah sementara untuk memberikan ruang dan waktu bagi pasangan untuk mengevaluasi hubungan mereka, menenangkan diri hingga menemukan solusi yang bermanfaat.

Di antara manfaat utama dari pisah ranjang adalah memberikan ruang pribadi yang diperlukan bagi pasangan menenangkan diri. Terkadang masalah suami istri menghasilkan ketegangan atau stres. Dalam situasi begini, pisah ranjang dapat menjaga kualitas tidur dan memberikan waktu bagi suami istri mengatasi emosi melalui istirahat yang mencukupi.

Islam membolehkan pisah ranjang, terkhusus bagi suami yang mendapati istrinya sudah berlaku nusyuz atau durhaka. Dalam menghadapi persoalan nusyuz suami hendaknya mendahulukan sikap memberikan nasihat. Apabila untaian nasihat tidak lagi mempan dan istri masih dalam perilaku durhakanya, maka pisah ranjang adalah pilihan yang hukumnya diperbolehkan, tanpa menyakiti atau merugikan hak-hak istri.

Syaikh Hasan Ayyub dalam bukunya As-Suluk Al-Ijtima'i (Fikih Sosial) (2022: 256) menerangkan:

Jika terjadi perselisihan antara suami dengan istri, maka harus diselesaikan sesuai perintah Allah dan Rasul-Nya, bukan menurut hawa nafsu dan bisikan setan.

Al-Qur’an telah memberikan arahan berikut: Kalau perselisihan tersebut penyebabnya adalah istri, maka suami harus menasihati dan mengingat tentang kewajibannya sebagai istri dan tentang siksa dan murka Allah.

Jika nasihat tersebut tidak diabaikan, maka hendaknya suami meninggalkannya (pisah ranjang). Kalau tempat tidurnya satu, maka berikan dia punggung & dan jangan diajak senang-senang. Hendaknya suami melakukan cara ini selama 3 malam berturut-turut dalam sebulan, tidak boleh lebih.

Ketika istri tidak bersikap baik atau malah melakukan keburukan terhadap suaminya, maka istri dinasihati agar memperbaiki sikapnya. Nusyuz itu semakin parah jika kedurhakaan itu berupa menentang kebenaran yang digariskan agama. Apabila nasihat tidak kunjung mampu menyadarkan kekeliruan istri, maka tahap berikutnya dapat dipilih dengan pisah ranjang.

Hal ini diterangkan pada surat an-Nisa ayat 34, yang artinya, “Perempuan-perempuan yang kamu khawatirkan akan nusyuz, berilah mereka nasihat, tinggalkanlah mereka di tempat tidur (pisah ranjang)

Zaitunah Subhan dalam bukunya Al-Qur'an dan Perempuan (2015: 181) menyebutkan:

Adapun secara istilah kata nusyuz berarti tidak tunduk kepada Allah Swt. untuk taat kepada suami. Ketidaktaatan ini dapat berbentuk sikap membangkang terhadap suami tanpa alasan yang jelas dan sah. Ibnu Katsir mengatakan bahwa nusyuz adalah meninggalkan perintah suami, menentang, dan membencinya. Menurut Syafiiyah, Malikiyah, dan Hambaliyah berpendapat bahwa keluarnya perempuan dari ketaatan yang wajib kepada suami.

Atas alasan terjadinya nusyuz atau kedurhakaan makanya pisah ranjang diperbolehkan, sebagai suatu pilihan untuk meredakan ketegangan dan mengembalikan kepada jalan Tuhan.

Abdul Qadir Manshur pada Buku Pintar Fikih Wanita (2012: 318) menguraikan:

Allah Swt. berfirman, “Dan pisahkanlah mereka dari tempat tidur (madhja’).” Kata madhja` berarti tempat tipu muslihat dan daya tarik yang dijadikan oleh perempuan pelaku tindakan nusyuz sebagai kekuatannya.

Jika suami bisa membentengi diri dari tipu daya tersebut maka istri yang diduga melakukan nusyuz telah kehilangan senjata utamanya. Pada akhirnya istri—biasanya—akan melunak dan kembali ke pangkuan suaminya.

Memisahkan istri di tempat tidur lain, memiliki ketentuan-ketentuan khusus, seperti jangan sampai diketahui oleh anak-anak sehingga bisa memengaruhi psikologis mereka atau diketahui orang asing sehingga langkah tersebut terkesan menghina istri dan melecehkan harga dirinya. Hal ini dikarenakan yang menjadi tujuan tiada lain mencegah terjadinya nusyuz, bukan menghina istri atau merusak psikologis anak-anak.

Islam tidak membenarkan kekerasan, sekalipun istri sudah berbuat sesuatu yang tergolong sikap durhaka atau nusyuz. Bahkan, ketika kedurhakaan istri makin menjadi-jadi, kekerasan masih saja dilarang, karena ada opsi yang lebih mengena yaitu pisah ranjang. Dengan berpisah tempat tidur, tidak lagi mendapatkan kasih sayang, maka diharapkan istri sadar dan kembali ke jalan yang benar.

Diperlukan kejelian dalam memberikan pemahaman terhadap anak-anak supaya pisah ranjang ayah ibu tidak mengguncang psikologis mereka. Memang bagus sekali kalau anak-anak tidak tahu orang tua lagi pisah ranjang (dalam arti ada masalah yang sangat pelik), tapi hendaknya suami istri memberikan alasan yang sehat terhadap anak-anak.

Meskipun pisah ranjang mempunyai manfaat tapi sifatnya hanyalah sementara. Jauh lebih penting bagi suami istri segera mengambil langkah-langkah efektif menyelesaikan permasalahan yang mengganjal. Jangan sampai pisah ranjang malah berkepanjangan dan tidak menemukan solusi apapun.

Secara umum, pisah ranjang dapat menjadi pilihan sementara untuk menjaga keharmonisan dalam hubungan ketika pasangan menghadapi permasalahan yang sulit diatasi. Setidaknya dengan pisah ranjang diharapkan dapat mendinginkan suasana. Namun, pisah ranjang bukanlah solusi jangka panjang, melainkan langkah awal dalam menangani masalah yang ada.

Suami istri hendaknya berkomitmen untuk mendiskusikan permasalahan dengan saling mendengarkan, mencari pemahaman, dan menemukan pemecahan yang memadai. Selama masa pisah ranjang pasutri mencari cara untuk mendekati perbedaan dengan rasa saling menghormati.

Dalam menggunakan pilihan pisah ranjang, pasangan harus tetap berkomitmen untuk mengatasi permasalahan dan berkomunikasi secara terbuka. Mencari bantuan pihak lain yang bijaksana juga dapat dipertimbangkan demi memperbaiki hubungan. Kalangan ulama atau konselor dapat memberikan panduan untuk membantu pasangan dalam mengatasi permasalahan yang ada.




Inilah Puasa yang Pahalanya Setara Berpuasa Setahun

Sebelumnya

Saat Itikaf Dilarang Bercampur Suami Istri, Maksudnya Apa?

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Baca Juga

Artikel Fikih