Kandidat PM dari MFP Pita Limjaroerat
Kandidat PM dari MFP Pita Limjaroerat
KOMENTAR

MOVE Forward Party (MFP) menjadi satu-satunya partai politik yang menjanjikan reformasi monarki dan militer di negara tersebut.

Selain membatalkan konstitusi militer, mengurangi armada angkatan bersenjata, dan menghapus wajib militer, MFP juga ingin menghapus UU Lese Mejeste Thailand yang merupakan “pasal pelindung” keluarga kerajaan dari ancaman dan hinaan. Selama ini, penghina raja bisa dikenakan hukuman penjara hingga 15 tahun.

Sejak puluhan ribu pengunjuk rasa turun ke seluruh negeri di tahun 2020 dan 2021 menyerukan pembatasan kekuasan raja, topik yang selama ini dianggap tabu itu menjelma menjadi pembicaraan hangat seantero negeri. Dan MFP-lah satu-satunya partai yang berjanji untuk memenuhi tuntutan para demonstran.

MFP merupakan partai progresif yang dipimpin anak muda, yang dinilai sejumlah pengamat politik sukses membawa politik Thailand to the next level karena menuntut reformasi struktural di pusat-pusat kekuasaan yang mapan terutama monarki dan militer.

Salah satu orang yang gencar menyuarakan pendapatnya adalah Chonthicha Jangrew, (30). “Kami telah berada di bawah kekuasaan militer selama sembilan tahun. Sudah waktunya untuk menghapus militer dari politik Thailand,” demikian perempuan yang dikenal dengan nama “Lookkate” itu berada di garda depan MFP menyemangati rakyat Thailand untuk mengambil “jalan baru” demi kesejahteraan di masa depan.

Di daerah pemilihan Chonthicha, provinsi Pathum Thani, 41 kilometer utara Bangkok, keinginan untuk perubahan tampak tinggi.

Sudah terlalu lama, pilihan para pemilih di negara berpenduduk 71 juta itu adalah partai-partai yang bersekutu dengan kerajaan-militer atau miliarder Thaksin Shinawatra yang mengasingkan diri.

Perebutan kekuasaan yang sengit antara kedua belah pihak telah membuat negara itu terhenti secara politik selama hampir dua dekade, dengan pemerintah Thaksin dan saudara perempuannya, Yingluck, disingkirkan dalam kudeta militer masing-masing pada tahun 2006 dan 2014.

Pemerintahan Perdana Menteri Prayuth Chan-ocha sudah berlangsung selama hampir satu dasawarsa. Dialah dulu semasa menjabat panglima militer, memimpin kudeta tahun 2014. Pensiunan jenderal itu kembali berkuasa sebagai kepala pemerintahan sipil pada 2019, setelah pemilu yang diklaim pihak oposisi telah dicurangi—tuduhan yang dibantahnya.

Prayuth mencalonkan diri kembali tetapi partainya Persatuan Bangsa Thailand (UTN) tertinggal dalam jajak pendapat, berada di urutan ketiga dalam survei baru-baru ini. Dukungan untuk partai itu hanya sebagian kecil dari dukungan untuk partai terdepan Pheu Thai yang berpihak pada Thaksin dan MFP yang berada di posisi kedua.

Pheu Thai telah lama memimpin dalam survei publik, tetapi MFP telah menutup celah tersebut dalam beberapa pekan terakhir. Pheu Thai sekarang memungut suara sekitar 38 persen, turun dari 47 persen di bulan April, sementara MFP di 34 persen, naik dari 21 persen sebelumnya, menurut survei oleh National Institute of Development Administration.

Jajak pendapat berskala besar yang diterbitkan oleh surat kabar The Nation minggu lalu menunjukkan calon perdana menteri dari MFP, Pita Limjaroenrat (42) muncul sebagai calon pilihan publik untuk jabatan tersebut.

Pengusaha itu memiliki 29,37 persen dukungan dibandingkan dengan 27,55 persen untuk kandidat dari Pheu Thai, putri Thaksin yang diasingkan berusia 36 tahun, Paetongtarn Shinawatra.

Akankah Pita mencetak sejarah baru dengan memimpin Thailand?




Potensi Tsunami Masih Ada, Warga Diminta Waspadai Erupsi Gunung Ruang

Sebelumnya

Fasilitas Kesehatan Hancur, Sebanyak 562 Warga Palestina Menderita Hemofilia

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Baca Juga

Artikel News