KOMENTAR

TIBA-TIBA dia tersentak, salat yang ditunaikannya sudah sampai ke Tahiyat Akhir, atau akan segera berakhir. Dan yang membuat perempuan itu cemas, selama salat pikirannya menerawang kemana-mana.

Ceritanya begini, sebelum salat dilaksanakan, pikiran perempuan tersebut memang sedang kalut. Pasalnya, pekerjaan menjahitnya tertunda hanya gara-gara tidak bertemu jarum. Sudah dicari ke mana-mana, benda mungil itu menghilang tak jelas rimbanya.

Takut melalaikan salat, perempuan itu memutuskan lebih dulu menunaikan ibadah wajib tersebut. Aneh bin ajaib, justru dalam salat saat pikirannya menerawang itulah jarum tersebut malah teringat, ternyata ia menyimpan jarum tersebut dalam laci.

Begitulah licinnya setan menggoda manusia, yang membuat pikiran tergelincir dalam ibadah. Itulah shalat yang sudah dicuri oleh setan. Sungguh amat disayangkan!

Khusyuk memang tidak mudah, meski haruslah diperjuangkan sekuat-kuat ikhtiar. Bahkan jarum pun dapat ditemukan lagi di dalam salat. Dan orang-orang yang salat itu akan terus diuji dengan pikiran yang melayang, menerawang, atau bahkan mengkhayal.

Lantas, apakah jika itu terjadi, salat menjadi tidak sah? Apakah salat perlu diulang lagi?

Syeikh Abdurrahman Al-Jaziri dalam Kitab Shalat Empat Mazhab (2010: 63) memaparkan:

Adapun gangguan-gangguan pikiran yang terjadi dalam salat, tetapi hatinya disibukkan dengan urusan-urusan dunia, yang demikian itu tidak membatalkan salat. Namun, orang yang ingin salat dengan khusyuk, wajib memerangi gangguan-gangguan tersebut sebisa mungkin.

Jangan memikirkan hal lain dalam salat, kecuali ketundukan kepada Allah Swt. Jika tidak mampu menepis gangguan-gangguan itu, tidak dapat melepaskan urusan-urusan dunia dari pikirannya ketika salat, ia tidak disiksa, tetapi ia harus berusaha memerangi gangguan-gangguan itu agar beruntung dan memperoleh pahala seperti yang diperoleh orang-orang yang beribadah dengan ikhlas.

Sungguh ini kabar baik, ternyata pada kasus pikiran menerawang pun salat masih sah, dalam arti tidak perlu mengulang kembali salatnya. Orang tersebut tidak juga mendapatkan siksa atas kealpaan yang demikian dalam salatnya.

Di sini tergambar kebaikan dan kebajikan ajaran Islam, yang memaklumi sisi-sisi kemanusiaan, yang dapat dimanfaatkan oleh setan dalam menggelincirkan orang yang lagi salat.

Akan tetapi, bukan berarti kita pun menggampangkan persoalan, sehingga membiarkan diri terus menerawang atau mengkhayal dalam ibadah yang menghadap Tuhan. Tetap saja ada upaya keras dalam menghentikan kelemahan-kelemahan di dalam diri manusia tersebut.  

Syeikh Abdurrahman Al-Jaziri dalam Kitab Shalat Empat Mazhab (2010: 63-64) memaparkan:

Jadi, ada dua hal yang bisa kita simpulkan. Pertama, tekad yang bulat dan kehendak yang kuat untuk mendirikan salat karena Allah semata adalah perintah agama. Hal ini merupakan suatu keharusan dalam salat. Kedua, kehadiran hati yang tidak disibukkan dengan pikiran-pikiran tentang urusan duniawi.

Ini sejatinya bukan syarat sahnya salat, tetapi orang yang sedang menghadap Tuhan seyogianya menepis segala sesuatu yang tidak ada kaitannya dengan salat. Jika tetap tidak bisa, orang tersebut tetap mendapatkan pahala.

Mengapa? Karena ia telah menunaikan kewajiban sebisa yang ia lakukan dan Allah takkan membebankan suatu kewajiban di atas kesanggupan hamba-Nya. 

Memang Allah tidak memberi beban yang melampaui kemampuan hamba-Nya, tapi bukan berarti kita membiarkan diri terhanyut dalam menerawangnya pikiran.

Setiap orang yang shalat harus terus berupaya menghadirkan khusyuk dalam shalatnya, atau setidaknya berikhtiar dalam menangkis godaan pikiran yang merusak ibadah.

Nasaruddin Umar dalam buku Shalat Sufistik (2019: 85) menjelaskan:

Soal di dalam salat terlintas pikiran lain, itu manusiawi. Yang penting jangan sampai rukun dan syarat salat terganggu karena terlalu jauh terlena dan mengkhayal, terlebih jika ketiduran dalam salat. Sulit dibayangkan adanya salat yang dari awal sampai akhir betul-betul tidak ada ingatan lain selain Allah Swt.

Petikan ini yang penting diingat, kendati pikiran sudah mengembara itu dapat dimaklumi dan dianggap sah shalatnya apabila rukun dan syarat salat tetap terjadi.

Salat bukan sekadar melunasi kewajiban atau hanya untuk mencari sah saja. Setiap kali pikiran tergelincir atau menerawang, maka segeralah berupaya untuk kembali kepada khusyuk.

Apabila kembali pikiran mengembara entah ke mana, maka berjuanglah supaya dapat kembali fokus kepada salat yang ditunaikan.

Akhirnya, marilah kita banyak belajar lagi tentang salat khusyuk, sehingga kasus pikiran menerawang dalam salat tidak terus merugikan lagi dan lagi.




Inilah Puasa yang Pahalanya Setara Berpuasa Setahun

Sebelumnya

Saat Itikaf Dilarang Bercampur Suami Istri, Maksudnya Apa?

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Baca Juga

Artikel Fikih