Ilustrasi obat-obatan halal/Net
Ilustrasi obat-obatan halal/Net
KOMENTAR

JIKA membuka pembicaraan tentang obat-obatan, maka kita akan bersinggungan dengan kondisi darurat. Obat dibutuhkan oleh orang sakit dan tidak sedikit dari mereka dalam kondisi kritis. Ketersediaan obat yang minim bagai pertaruhan nyawa bagi mereka.

Tidak bisa sembarangan, obat-obatan harus bersertifikat halal. Hanya saja, butuh proses dan dinamika yang cukup berliku untuk menuju ke sana. Majelis Ulama Indonesia (MUI) memilih cara-cara bijak menyikapi persoalan ini, sebab bagaimanapun obat sering berhubungan dengan kondisi darurat dan menyelamatkan nyawa manusia tentu lebih diutamakan.

Norma Sari dalam buku Perlindungan Konsumen Obat (2020: 110-111) menjelaskan: Pengaturan jaminan atas obat halal selama ini hampir tidak ditemukan dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia. Pada 2013, MUI berusaha memperbaiki keadaan dengan menerbitkan Fatwa MUI Nomor 3 Tahun 2013 tentang Obat dan Pengobatan.

Fatwa tersebut secara tegas menyatakan, obat yang digunakan untuk kepentingan pengobatan wajib menggunakan bahan yang suci dan halal. Penggunaan bahan najis atau haram dalam obat-obatan hukumnya haram.

Namun seiring jalan, MUI sadar bahwa situasi di lapangan berbeda. Proses produksi obat yang benar-benar memenuhi standar kehalalan persentasenya masih sangat sedikit. Dari 30 ribu, baru 22 yang halal.

MUI kemudian merekomendasikan hal-hal sebagai berikut:

1. Meminta kepada pemerintah untuk menjamin ketersediaan obat-obatan yang suci dan halal sebagai bentuk perlindungan terhadap keyakinan keagamaan, di antaranya dengan menyusun regulasi dengan menjadikan fatwa ini sebagai pedoman.

2. Menghimbau kepada pelaku usaha dan pihak-pihak terkait untuk memperhatikan unsur kehalalan obat dan tidak serta-merta menganalogikan penggunaan obat sebagai kondisi darurat.

3. LPPOM diminta untuk tidak mensertifikasi halal obat-obatan yang berbahan haram atau najis.

4. Menghimbau kepada masyarakat agar dalam pengobatan senantisa menggunakan obat yang suci dan halal.

Cara ini dipilih MUI untuk menghindari polemik yang kontraproduktif. Sertifikasi halal obat-obatan melalui fase demi fase yang diharapkan tidak menimbulkan gap dengan kebutuhan para pasien.

Namun demikian, fatwa tersebut tetap saja mengarahkan kepada harapan terbesar terhadap hadirnya obat-obatan yang bersertifikasi halal. Kita tidak boleh terus berlindung di balik tameng darurat, karena obat halal juga harus diperjuangkan.

Syukurnya, harapan ini didengar. Pemerintah melalui Kementerian Agama, sudah memasuki tahap kedua dalam kewajiban sertifikasi halal, termasuk berbagai jenis produk obat-obatan.

Menutip situs resmi Kementrian Agama Republik Indonesia, bahwa Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) Kemenag mulai memberlakukan tahap kedua kewajiban bersertifikat halal.

Pada tahap pertama, kewajiban ini diberlakukan untuk produk makanan, minuman, serta hasil dan jasa sembelihan. Ini menandai dimulainya era baru sertifikasi halal Indonesia sebagai amanah UU Nomor 33 tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal yang mengatur bahwa produk yang masuk, beredar dan diperdagangkan di wilayah Indonesia wajib bersertifikat halal.

Untuk tahap kedua, kewajiban sertifikat halal bagi produk obat-obatan, kosmetik, dan barang gunaan. Ini sesuai PP Nomor 39 Tahun 2021, tentang Penyelenggaraan Bidang Jaminan Produk Halal. Tahap kedua ini dilaksanakan mulai 17 Oktober 2021 sampai dengan 17 Oktober 2026.

Tahap kedua kewajiban bersertifikat halal juga diatur dalam Pasal 141 PP Nomor 39 Tahun 2021. Penahapan kedua ini mencakup jenis produk, di antaranya:

- Obat tradisional, obat kuasi, dan suplemen kesehatan (sampai 17 Oktober 2026).

- Obat bebas dan obat bebas terbatas (sampai 17 Oktober 2029).

- Obat keras dikecualikan psikotropika (sampai 17 Oktober 2034).

- Kosmetik, produk kimiawi, dan produk rekayasa genetik (sampai 17 Oktober 2026).

- Barang gunaan yang dipakai kategori sandang, penutup kepala, dan aksesoris (sampai 17 Oktober 2026).

Sesuai dengan amanah tersebut, maka langkah-langkah yang ditempuh Kementrian Agama merupakan angin segar bagi sejarah sertifikasi halal di Tanah Air.

Semoga saja para produsen obat-obatan selekas-lekasnya memenuhi kewajiban sertifikasi halal, yang tentunya jadi lebih baik bila dituntaskan sebelum batas akhir.




Ternyata Siomay Bisa Saja Haram

Sebelumnya

Parsel: Halal atau Haram?

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Artikel Halal Haram