Ilustrasi makanan halal/Net
Ilustrasi makanan halal/Net
KOMENTAR

KRITERIA haram sesuatu makanan dan minuman dalam agama Islam ternyata tidaklah kaku. Adakalanya hal-hal yang sudah tegas digolongkan makanan atau minuman haram, malah bisa berubah menjadi halal hukumnya.

Tapi, tentunya hal itu tidak terjadi begitu saja dengan mudahnya. Ada suatu kondisi darurat yang meringankannya, sehingga berlakulah demikian. Jangan pula hal ini dipandang sebagai sikap tidak konsisten, sebab ada tujuan mulia menyelamatkan kehidupan manusia.

Bagi sebagian pihak, tema ini cukup menggelisahkan karena tidak terlepas dari begitu kuat dirinya memegang prinsip, sekali haram tetaplah haram. Namun, kita tidak pula dapat menolak kenyataan, bahwa Rasulullah pun melaksanakan keringanan seperti ini, yang tidak terlepas dari tujuan mulia.

Nabi Muhammad pernah menganjurkan menggunakan air urin unta untuk pengobatan suatu penyakit sahabatnya. Kala itu, nyawa taruhannya.

Ahmad Sarwat pada Ensiklopedia Fikih Indonesia 3: Taharah (2019: 131) mengungkapkan: Kalaupun Rasulullah Saw pernah memerintahkan seseorang minum air kencing unta, harus dicarikan titik temunya agar tidak terjadi benturan dalil. Bisa saja hal itu terjadi karena tuntutan kedaruratan, yang tidak ada jalan keluar lain pada saat ini, kecuali hanya dengan minum air kencing unta.

Kalau judulnya darurat, sifatnya sementara, subjektif dan tentatif. Dalam hal darurat, memang sesuatu yang asalnya haram, bisa saja berubah halal. Namun, dalam kondisi normal, air kencing unta yang asalnya najis itu akan kembali menjadi haram.

Oleh sebab itulah ulama fikih merumuskan di antara tujuan hukum Islam adalah menyelamatkan kehidupan umat manusia.

Zulham dalam buku Peran Negara Dalam Perlindungan Konsumen Muslim Terhadap Produk Halal (2018: 93) menerangkan: Sebagaimana salah satu tujuan hukum Islam (maqasid al-syari’ah), adalah untuk menjamin dan menjaga kehidupan manusia. Bahkan, Al-Qur’an membolehkan seseorang untuk mengonsumsi makanan haram jika dalam keadaaan terpaksa, dan salah satu keadaan yang terpaksa tersebut adalah untuk mempertahankan hidup dari kelaparan yang dapat merenggut jiwa manusia.

Apabila kisah Nabi yang membolehkan bahkan menganjurkan sahabatnya minum air urin unta itu dalam rangka pengobatan, ternyata keringanan yang haram jadi halal itu juga bisa berlaku dalam kondisi kelaparan dan kehausan. Jadi, kita pun dapat mengukur sendiri batas darurat yang mengancam nyawa dan tentunya sudah berupaya keras menemukan yang halal terlebih dahulu.

Allah berfirman dalam surat Al-Baqarah ayat 173: “Sesungguhnya Dia hanya mengharamkan atasmu bangkai, darah, daging babi, dan (daging) hewan yang disembelih dengan (menyebut nama) selain Allah. Akan tetapi, siapa yang terpaksa (memakannya), bukan karena menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”

Ayat ini sudah dengan terang-benderang menjelaskan aturannya, yakni hati kita memang tidak menginginkan yang haram itu, dan juga kita tidak melampaui batas dalam menggunakannya.

Tidak menginginkannya, yang mana kita memang benar-benar terpaksa untuk mencicipi yang diharamkan tersebut. Tidak melampaui batas, artinya hanya dikonsumsi sekadar melewati masa darurat dan tidak berlebihan. Jadi, tidak boleh berkelanjutan memakan barang yang diharamkan, hanya sekadar menyelamatkan nyawa dan sementara saja sampai masa darurat itu terlampaui.

Misalnya, lagi dalam perjalanan di padang pasir dan hampir mati kehausan dan rupanya satu-satunya yang ada hanyalah minuman khamar atau yang mengandung alkohol. Setelah berupaya menemukan minuman halal, ternyata hanya itulah pilihan minuman yang ada di tengah kehausan yang mencekik leher.

Apakah keringanan ini sebagai bentuk tidak konsistensi dalam standar halal haram?

Jangan dulu membuat kesimpulannya, karena pada dasarnya yang haram tetap saja haram hukumnya, atau tidak ada perubahan hukum sama sekali. Keringanan macam ini hanyalah berlaku sementara waktu, selama masa darurat saja.

Imam Asy-Syafi’i dalam buku Al-Umm #9: Kitab Induk Fiqih Islam (2020: 129) menjelaskan: Demikian pula halnya dengan semua objek haram yang dihalalkan ketika objek tersebut ada dalam kondisi yang tidak halal, kecuali hanya pada kondisi khusus tersebut. Apabila objek tersebut sudah berpisah dari kondisi khusus itu, maka dia harus kembali ke status keharamannya.

Contohnya adalah bangkai yang hukumnya haram, tetapi kemudian menjadi halal dalam kondisi darurat. Apabila bangkai sudah berpisah dari kondisi darurat, maka ia harus kembali ke hukum asalnya, yaitu haram.

Bukannya tidak konsisten, melainkan inilah kearifan Islam dalam menyelamatkan jiwa manusia menghadapi masa-masa darurat. Namun ingatlah, keringanan ini cuma berlaku di masa darurat saja atau sementara belaka. Karena sebenarnya yang haram itu tetap saja haram hukumnya.




Ternyata Siomay Bisa Saja Haram

Sebelumnya

Parsel: Halal atau Haram?

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Baca Juga

Artikel Halal Haram