Ilustrasi perjalanan Rasulullah ke Thaif/Net
Ilustrasi perjalanan Rasulullah ke Thaif/Net
KOMENTAR

WAFATNYA Abu Thalib membuat Nabi Muhammad kehilangan pendukung utama syiar dakwahnya. Terlebih lagi meninggalnya sang istri, Khadijah, membuat beliau benar-benar kehilangan teman sejati dalam perjuangan.

Namun, tiada pernah Rasulullah patah semangat dalam mendakwahkan agama Ilahi. Banyak sekali rintangan dan siksaan yang dialaminya selama di Mekah, tetapi beliau semakin berani mencari peluang dakwah lainnya.

Syaikh Abdurrahman Yakub dalam buku Pesona Akhlak Rasulullah Saw (2006: 94) menguraikan, sejak meninggalnya Abu Thalib, kekerasan orang-orang musyrik terhadap Rasulullah Saw dan para sahabatnya bertambah kuat. Kemudian datanglah paman Nabi, Abbas bin Abdul Muthalib, yang menyatakan ketidakmampuannya menolong beliau sebagaimana yang dahulu dilakukan Abu Thalib.

Abbas lalu menyarankan Nabi untuk pergi ke Thaif dan berdakwah di sana. Dia

Berharap, penduduk Thaif dapat menerima Nabi Saw dengan baik, karena mereka adalah penduduk yang lemah lembut dan penuh dengan kasih sayang.

Nabi Saw pun menerima saran ini. Abbas kemudian mengirim utusannya yang membawa pesan untuk pemuka Bani Tsaqif agar mereka menerima putra saudaranya dengan baik.

Nabi Saw pun berangkat ke Thaif dengan didorong harapan semoga Allah Swt membukakan hati penduduknya dan menjadikan mereka sebagai pengganti penduduk Mekah.

Namun, baru saja Nabi Saw bertemu dengan para pemuka dan tokoh masyarakat Thaif, beliau menemukan kekufuran, penindasan, kecaman, dan kejahatan yang tiada bandingannya.

Thaif adalah negeri yang subur, berjarak sekitar 70 km dari Mekah. Di negeri itu, Nabi Muhammad berharap agama Islam diterima. Akan tetapi, penduduk Thaif malah mempertahankan kemusyrikan, bahkan memperlakuan keji seorang utusan Allah, yang membuat Rasulullah terluka lahir batin.

Masih cerita Syaikh Abdurrahman Yakub dalam buku yang sama, masyarakat Thaif menyingkirkan makanan saat Nabi Saw sedang lapar dan tidak mau memberi minum saat beliau kehausan. Mereka bahkan memberikan kesempatan kepada orang-orang jahat, budak-budak, dan anak-anak untuk melempari Nabi Saw dengan batu dan kerikil, serta mencaci maki Nabi dengan kata-kata yang paling kotor.

Mereka mengelilingi Nabi Saw sambil bersorak dan bersiul. Para pemuka dan tokoh masyarakat yang menyaksikan malah tertawa terbahak-bahak. Hingga akhirnya Nabi Saw dapat melepaskan diri dengan susah payah dan bersandar di dinding dalam keadaan risau, sedih, dan gelisah.

Beliau mulai membasuh darah dan mengobati lukanya. Beliau mengadu kepada Allah akan kelemahannya, kekurangsanggupannya, dan ketidakberdayaannya berhadapan dengan manusia.

Syaikh Abu Bakar Jabir al-Jazairi dalam buku My Beloved Prophet Teladan Sepanjang Zaman (2008: 162) memaparkan: Tindakan mereka memaksa Rasulullah berlindung di balik dinding sebuah kebun milik Bani Rabi’ah, tepatnya milik Utbah dan Syaibah.

Rasulullah bersembunyi di balik pepohonan anggur. Di sana beliau duduk hingga situasi tenang kembali. Setelah itu beliau berdoa, “Ya Allah, kepada-Mu aku mengadukan kelemahanku, kurangnya kemampuanku, dan kehinaan diriku di hadapan manusia. Wahai Yang Maha Pengasih, Engkau adalah Tuhan orang-orang yang lemah, Engkau adalah Tuhanku. Kepada siapa Engkau hendak menyerahkanku? Kepada orang jauh yang memalingkan mukanya dariku? Atau kepada musuh-Mu Engkau menyerahkanku?”

“Asalkan Engkau tiada memurkaiku, aku tidak peduli, sebab maaf-Mu teramat luas bagiku. Aku berlindung kepada cahaya wajah-Mu yang menerangi kegelapan, dan membuat semua urusan dunia dan akhirat selamat dari murka yang akan Engkau turunkan kepadaku atau benci yang Engkau tujukan kepadaku. Engkaulah yang memiliki keridaan hingga Engkau meridai. Tiada daya dan upaya kecuali dengan diri-Mu jua.”

Nabi Muhammad bergerak pulang kembali ke Mekah. Begitu sampai di daerah Qarnul Manazil, beliau dicegat oleh malaikat Jibril bersama malaikat penjaga gunung. Kedua malaikat itu menyampaikan tawaran yang menggiurkan.

Syaikh Ibrahim bin Shalih bin Shabir Al-Maghdzawi dalam buku Berdakwah dengan Hati (2020: 116) mengisahkan: Jibril datang memanggil, “Sesungguhnya Allah Swt telah mendengar ucapan kaummu dan penolakan mereka kepadamu. Allah telah mengutus untukmu malaikat penjaga gunung yang siap menjalankan perintahmu.”

Kemudian malaikat penjaga gunung itu mengucap salam dan berseru, “Allah telah mendengar ucapan kaummu kepadamu. Aku malaikat penjaga gunung diperintah untuk siap melaksanakan perintahmu kepadaku. Kalau engkau menyuruh aku membalikkan tanah Thaif ini, aku siap.”

Rasulullah Saw bersabda, “Tidak! Aku justru berharap Allah akan menghadirkan dari keturunan mereka orang-orang yang mentauhidkan Allah tanpa menyekutukan-Nya dengan suatu apapun.”

Demikianlah dakwah Islam itu ditegakkan, di atas landasan kasih sayang, yang dari sana pula terbit optimisme. Kelak, masyarakat Thaif akan terbuka hati mereka dan menerima agama Islam dengan sepenuh cinta.

Nabi Muhammad tidak gagal berdakwah di bumi Thaif, justru beliau menorehkan pesan mulia dari hakikat sebuah dakwah suci.




Belum Ada Perang Seunik Perang Ahzab

Sebelumnya

Mukjizat Nabi pada Periuk Istri Jabir

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Artikel Sirah Nabawiyah