Ilustrasi burqa/ AP
Ilustrasi burqa/ AP
KOMENTAR

TERPURUKNYA kehidupan perempuan Afghanistan setelah Taliban mengambil alih kekuasaan di negara tersebut telah menjadi kepedihan bagi perempuan di seluruh dunia.

Satu tahun berlalu sejak Taliban berkuasa selepas penarikan tentara Amerika Serikat dan Inggris dari bumi Afghanistan. Selama itu pulalah kehidupan masyarakat Afghanistan bertambah buruk.

Ekonomi terpuruk dan kesejahteraan rakyat terjun bebas. Gizi buruk dan stunting menghantui para orangtua. belum lagi kekerasan bersenjata yang meneror ketenteraman masyarakat.

Kelompok masyarakat yang sangat sangat menderita adalah perempuan. Hak-hak mereka dirampas. Kebebasan mereka dilucuti.

Diskriminasi gender yang dilakukan Taliban tak ubahnya kejahatan apartheid yang dijalankan minoritas kulit putih terhadap mayoritas kulit hitam di Afrika Selatan selama kurun 1948 hingga 1991.

Sejumlah peraturan ditetapkan Taliban, dan semuanya merugikan perempuan. Mulai dari pembatasan profesi, pembatasan akses pendidikan, pembatasan akses ke bidang seni budaya, hingga pembatasan perjalanan.

Berikut ini suara sejumlah perempuan Afghanistan yang mewakili kepedihan jutaan perempuan di negara tersebut.

Mah Liqa dan mimpinya belajar di luar negeri

Gadis remaja bernama Mah Liqa (14) merasakan depresi setelah Taliban melarang anak perempuan melanjutkan pendidikan di sekolah menengah dan universitas.

Namun perlahan semangatnya kembali hadir. Ia belajar bahasa Inggris setiap hari meski bukan di lembaga pendidikan formal, demi mengejar mimpi meraih beasiswa di luar negeri. Siapa tahu, ia bisa mengambil jurusan Ilmu Komputer yang ia inginkan.

Samana dan Zahra, diancam senjata karena tak berhijab

Di antara sekian kisah tentang peraturan hijab, Samana dan Zahra adalah dua perempuan dari Kabul yang merasakan trauma luar biasa.

Keduanya pernah dihina sebagai perempuan tunasusila, lalu diancam dengan senjata laras panjang oleh tentara Taliban lantaran berada di tempat umum tanpa mengenakan hijab. Keduanya diperbolehkan kembali ke rumah, namun tentara memperketat pengawasan terhadap keluarga mereka.

Abassi, trauma dengan ledakan bom

Bagaimana seseorang bisa melupakan bagaimana ia selamat saat berada dalam bus yang diledakkan bom? Itulah yang dirasakan Abassi.

Luka parah menyebabkan ia harus dioperasi sebanyak lima kali. Dan lokasi pemboman itu dilewatinya setiap kali berobat ke dokter. Trauma tentang kendaraan yang bergetar, panasnya ledakan, dan teriakan orang-orang masih terekam dalam benaknya.

Semenjak Taliban berkuasa, teror bom memang marak dilancarkan oleh ISIS.

"Saya dulu memberanikan diri untuk tetap bekerja, tapi setelah peristiwa pemboman di bus, ketakutan saya tak pernah berkurang. Bahkan di saat saya hendak tidur."

Sakina dan Maryam, ibu tunggal yang kehilangan mata pencaharian

Kisah pilu juga datang dari Sakina dan Maryam. Keduanya adalah ibu tunggal yang telah ditinggal pergi suami mereka selama bertahun-tahun.

Sakina yang menetap di Kandahar berjualan makanan di pasar tradisional untuk menghidupi anak-anaknya. Namun Taliban kemudian melarangnya berjualan. Taliban memberinya sembako dan uang setiap bulan yang jauh dari cukup. Ia bahkan tak bisa membayar biaya sewa rumahnya.

Lain lagi kisah Maryam. Sebagai ibu tunggal, ia selama ini berprofesi sebagai polwan dan mencukupi kebutuhan dua anak perempuannya dari gaji bulanan.

Namun Taliban memberhentikan semua perempuan yang berkecimpung di bidang keamanan. Dan ia pun terpaksa mengemis di tepi jalan. Ia mengenakan burqa agar orang-orang tak mengenalinya.

Mirisnya, ia kerap mendapat hinaan dari mereka yang lalu-lalang. Bahkan tak jarang, hasil mengemisnya hanya bisa untuk membeli dua keping roti untuk anak-anaknya.




Indonesia Siapkan Gender Budget sebagai Tindak Lanjut Agenda CSW-68 New York tentang Pemberdayaan Perempuan & Pengentasan Kemiskinan

Sebelumnya

Nuzul Quran Masjid Al Hidayah: Quran dan Ibu sebagai Petunjuk Awal dan Madrasah Pertama Anak

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Artikel Women