PERTEMUAN World Meeting on Human Fraternity di Roma pada 12 September, Najwa Shihab berbicara tentang pentingnya peran jurnalis di masa kini. Jurnalis sekaligus Co-Founder Narasi itu mengungkapkan kebutuhan mendesak untuk menjadikan jurnalisme sebagai ujung tombak untuk mempersatukan umat manusia.
Berikut ini pidato yang disampaikan Najwa Shihab:
“Rekan-rekan, sahabat, dan para pencari kebenaran, adalah sebuah kehormatan sebagai jurnalis Indonesia untuk bisa berpartisipasi dalam pertemuan ini.
Indonesia, negara demokrasi terbesar ketiga di dunia, dan negara mayoritas penduduk muslim terbesar di dunia, merupakan rumah bagi 270 juta jiwa yang persatuan dalam keberagamannya sangatlah luar biasa.
Jurnalisme bukanlah hal yang abstrak, melainkan sebuah kebutuhan untuk menyeimbangkan perbedaan dan dialog.
Platform digital saat ini justru memperbesar kemarahan, menyebarkan kebohongan, dan meraup keuntungan dari perpecahan. Teori konspirasi meracuni keluarga, disinformasi merusak pemilu, dan ujaran kebencian ’membakar’ komunitas. Sementara deep fake membuat batas antara fakta dan kebohongan semakin kabur, kepercayaan kita pun perlahan runtuh.
Namun, saya juga melihat hal yang sebaliknya terjadi di Indonesia.
Anak-anak muda memeriksa fakta pernyataan politisi secara langsung, menuntut transparansi dan akuntabilitas. Komunitas bergerak lebih cepat dari pemerintah dalam menyalurkan bantuan. Aktivis iklim terhubung lintas batas negara dengan kecepatan luar biasa — tidak ada ruang yang mampu menandingi itu.
Di Indonesia dan di seluruh dunia, warga negara mulai merebut kembali kekuatan mereka. Mereka menggunakan suara, bukan untuk menentang, tetapi untuk menyatukan.
Kita, sebagai komunitas media global, harus bertindak bersama. Menjadikan informasi sebagai alat persaudaraan. Kita harus melindungi media agar independen dari kepentingan politik dan komersial. Kita juga perlu menumbuhkan literasi media, agar warga dapat berdiri teguh melawan disinformasi.
Ini bukan sekadar harapan idealis. Ini adalah kebutuhan mendesak — untuk demokrasi yang sedang tertekan, dan bagi komunitas yang terpecah oleh ketidakpercayaan.
Dan marilah kita terus mengingat mereka yang paling menanggung beban ini — hari ini, di Gaza dan seluruh Palestina, para jurnalis di sana bukan hanya saksi, tetapi juga menjadi sasaran. Mereka gugur bukan dengan senjata di tangan, melainkan dengan kamera dan buku catatan.
Keberanian mereka mengingatkan kita akan alasan kita berada di sini — karena kata-kata bisa menjadi tembok dan perisai, tetapi juga bisa menjadi jembatan menuju kebenaran. Kata-kata bisa menghancurkan, tapi juga bisa membela martabat dan kemanusiaan.
Menghormati mereka adalah menghormati prinsip yang menjadi inti dari pertemuan ini:
Paus Leo XIV pernah berkata,”Before being Believers, we are called to be human. Before being anything else, we are called to be human.”
Kita perlu mengingatkan dunia bahwa jurnalisme bisa menjadi sebuah tindakan cinta. Dan tidak ada kekuatan yang lebih besar dari persaudaraan.”
Pidato tersebut mendapat tepuk tangan hangat dari para peserta World Meeting on Human Fraternity.
Apa yang disampaikan Najwa adalah fakta yang memang sudah terjadi di tengah masyarakat dunia. Terlebih lagi jika berbicara dalam kapasitas bangsa Indonesia, tantangannya menjadi sedemikian berat.
Literasi media dan literasi digital yang masih jauh dari kata ideal menjadikan jurnalisme memiliki tugas berlipat ganda untuk mencerdaskan anak bangsa, dan kemudian menyadarkan mereka bahwa prioritas pertama adalah kesejahteraan rakyat. Dengan begitu, rakyat tidak akan mudah tertipu hoaks, deep fake, dan tidak mudah terpancing buzzer yang ingin menghancurkan kebhinnekaan Indonesia.
KOMENTAR ANDA