Salah satu spot foto ikonik di Kota Gudeg, Taman Sari Yogyakarta. (Pinterest)
Salah satu spot foto ikonik di Kota Gudeg, Taman Sari Yogyakarta. (Pinterest)
KOMENTAR

YOGYAKARTA tak hanya terkenal dengan Malioboro atau keraton. Di balik dinding tebal dan lorong-lorong tua, ada sebuah kompleks bersejarah yang menyimpan kisah kerajaan sekaligus pesona arsitektur kuno: Taman Sari, atau yang kerap disebut Istana Air.

Taman Sari dibangun pada masa pemerintahan Sultan Hamengkubuwono I antara tahun 1758–1765. Awalnya, kompleks ini berfungsi sebagai tempat rekreasi, peristirahatan, sekaligus benteng pertahanan bagi keluarga kerajaan. Dibalik kemegahannya, Taman Sari juga tercatat sebagai persembahan Sultan untuk permaisurinya atas pengorbanan besar selama Perang Giyanti.

Pada masa jayanya, Taman Sari membentang luas dari barat daya Kedhaton hingga tenggara kompleks Magangan, mencakup lahan sekitar 12,6 hektare dengan 58 bangunan—mulai dari kolam pemandian, kanal air, danau buatan, pulau buatan, hingga lorong bawah tanah. Kini, sebagian besar area tersebut sudah tidak utuh, tetapi sisa-sisanya masih memikat siapa saja yang datang.

Taman Sari dibagi menjadi empat kawasan:

  1. Danau Buatan di sisi barat, yang dahulu menjadi pusat rekreasi air.
  2. Pemandian Umbul Binangun, tempat istirahat keluarga Sultan sekaligus area pemandian yang paling populer.
  3. Pasarean Ledok Sari dan Kolam Garjitawati, konon digunakan sebagai tempat peristirahatan raja.
  4. Kawasan timur dan tenggara, yang meluas hingga kompleks Magangan.

Setiap bagian memiliki daya tarik dan cerita berbeda, mulai dari arsitektur bergaya klasik dengan sentuhan Portugis hingga fungsi spiritual sebagai tempat semedi.

Sebelum bernama Taman Sari, kawasan ini sudah memiliki pesanggrahan bernama Garjitawati pada masa Sunan Amangkurat. Kemudian berganti nama menjadi Ayogya oleh Pakubuwana. Tempat ini digunakan raja-raja sebagai persinggahan sebelum dimakamkan di Astana Pajimatan Imogiri.

Menariknya, ada kisah tentang seorang arsitek misterius yang disebut Demang Tegis. Konon, ia berasal dari Portugis dan meninggalkan jejak pengaruh arsitektur Eropa, terlihat dari istilah “baluwerti” (dari kata Portugis baluarte) dan gaya bangunan benteng di sekitar keraton.

Beberapa bagian Taman Sari masih bisa dinikmati hingga kini, di antaranya:

  • Gapura Panggung, dengan tangga menuju lantai atas yang menawarkan pemandangan unik kompleks taman.
  • Gedong Sekawan, gapura dengan struktur panggung yang megah.
  • Kolam Umbul Winangun, area pemandian dengan tiga kolam yang dikelilingi tembok tinggi—menjadi spot favorit wisatawan untuk berfoto.

Berjalan di Taman Sari serasa kembali ke masa lalu. Suasana tembok-tembok tebal, lorong bawah tanah yang penuh misteri, dan kolam pemandian yang indah membuat siapa saja betah berlama-lama. Tak hanya wisata sejarah, Taman Sari juga menyuguhkan pengalaman visual yang memanjakan kamera—menjadikannya salah satu lokasi foto paling ikonik di Yogyakarta.

Jadi, kalau kamu berkunjung ke Kota Gudeg, jangan lewatkan kesempatan untuk menelusuri Taman Sari Yogyakarta. Di sini, sejarah, seni, dan arsitektur berpadu, menghadirkan pengalaman yang tak sekadar wisata, melainkan juga perjalanan rasa dan imajinasi.




Tengkleng Gajah: Sensasi Kuliner “Porsi Raksasa” dari Yogyakarta

Sebelumnya

Naengmyeon, Mi Dingin Korea yang Menyegarkan

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Artikel Horizon