Kondisi pasar di Kabupaten Badung, Bali (10/9). (Anadolu)
Kondisi pasar di Kabupaten Badung, Bali (10/9). (Anadolu)
KOMENTAR

BALI baru saja diguncang bencana banjir besar yang melanda tujuh kabupaten dan kota pada Rabu (10/9). Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) melaporkan, hingga Kamis (11/9) siang, jumlah korban meninggal dunia akibat banjir tersebut bertambah menjadi 14 orang, sementara dua warga lainnya masih dinyatakan hilang.

“Data sementara Kamis pukul 12.00 Wita, total korban meninggal dunia yang sudah ditemukan berjumlah 14 jiwa dan yang masih dalam pencarian sebanyak 2 warga,” ujar Kepala Pusat Data, Informasi, dan Komunikasi Kebencanaan BNPB, Abdul Muhari.

Rincian korban jiwa tersebar di beberapa wilayah: 8 orang di Kota Denpasar, 2 di Jembrana, 3 di Gianyar, dan 1 di Badung. Banjir dengan ketinggian 1 hingga 3 meter itu juga memaksa 562 warga mengungsi, terdiri dari 327 orang di Jembrana dan 235 orang di Denpasar.

Para pengungsi kini menempati fasilitas umum seperti sekolah, balai desa, mushala, dan balai banjar. Tim SAR gabungan dan BPBD masih melakukan pencarian korban hilang serta membantu warga membersihkan sisa lumpur banjir.

Sekretaris BPBD Bali, Gede Agung Teja Bhusana Yadnya, menyampaikan bahwa saat ini titik banjir sudah tidak ditemukan lagi karena hujan mereda sejak Rabu sore. “Saat ini tim masih melaksanakan giat penyedotan air genangan di basement parkir Pasar Badung dan membantu pembersihan area publik,” ujarnya.

Banjir yang melanda Bali bukanlah peristiwa tunggal. BNPB mencatat bahwa sepanjang 2024, lebih dari 80 persen bencana di Indonesia adalah bencana hidrometeorologi seperti banjir, longsor, dan puting beliung. Tren ini diperkirakan berlanjut di 2025, seiring meningkatnya intensitas hujan ekstrem akibat perubahan iklim.

BMKG sebelumnya juga mengingatkan bahwa periode peralihan musim sering ditandai dengan cuaca ekstrem, termasuk hujan lebat dalam waktu singkat. Kondisi geografis Bali dengan banyak daerah aliran sungai membuat wilayah ini sangat rentan jika sistem drainase dan daerah resapan tidak dikelola dengan baik.

Bencana banjir Bali September 2025 menyisakan duka mendalam, namun juga menjadi pengingat akan rapuhnya keseimbangan alam. Alih fungsi lahan, minimnya ruang hijau, dan penumpukan sampah di saluran air memperburuk dampak banjir yang semestinya bisa ditekan. Tentunya didukung saluran drainase yang berfungsi optimal.

Pascabanjir Bali, Kepala BPBD Bali Gede Agung Teja Bhusana Yadnya menjelaskan bahwa penyebab utama berasal dari intensitas hujan tinggi sejak 8 September, meluapnya sungai dan saluran air, serta tumpukan sampah. Faktor lain yang ikut memperparah kondisi adalah dampak pembangunan masif yang mengganggu aliran sungai dan mengurangi daya tampung lahan.

Gubernur Bali Wayan Koster menegaskan, sampah memang menjadi perhatian, tetapi bukan penyebab tunggal. Menurutnya, curah hujan yang ekstrem dan berlangsung tanpa henti menjadi pemicu utama banjir, sementara persoalan infrastruktur dan tata kelola lingkungan memperbesar dampaknya.

Tragedi ini seharusnya menggugah kesadaran bersama untuk lebih peduli terhadap lingkungan. Menjaga kebersihan sungai, mengurangi plastik sekali pakai, memperbanyak ruang hijau, serta mendukung program mitigasi bencana di tingkat lokal adalah langkah nyata yang bisa dilakukan masyarakat. 




Ucapannya Dipelintir, Rahayu Saraswati Memilih Mundur dari DPR

Sebelumnya

Indonesia Catat Sejarah Jadi Tuan Rumah Jambore Pramuka Muslim Dunia Pertama

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Artikel News