PERBEDAAN pencatatan nilai ekspor antara Indonesia dengan negara mitra dagang membuat potensi penerimaan negara banyak yang hilang. Dalam 10 tahun terakhir, nilai ekspor gelap atau selisih pencatatan dalam kegiatan ekspor mencapai US$654,5 miliar yang lazim dikenal sebagai dana siluman (illicit financial).
Dana siluman dalam kegiatan ekspor Indonesia ke negara mitra itu terjadi akibat adanya misinvoicing atau kecurangan dalam pencatatan. Dalam 10 tahun terakhir (2014-2023), NEXT Indonesia Center menemukan nilainya mencapai US$654,5 miliar.
Christiantoko, Direktur Eksekutif NEXT Indonesia Center, menjelaskan bahwa Kecurangan dalam pencatatan ekspor tersebut terjadi melalui dua jenis. Pertama, under invoicing. Pada kasus ini, volume atau nilai ekspor yang dicatat di Indonesia lebih rendah dari yang dibukukan oleh negara mitra dagang. Sepanjang satu dekade tersebut, selisih pencatatannya senilai US$401,6 miliar atau rata-rata sekitar US$40,2 miliar per tahun.
Kedua, over invoicing yakni catatan di Indonesia lebih besar ketimbang catatan negara mitra. Pada satu dekade terakhir, nilainya mencapai US$252,9 miliar atau sekitar US$25,3 miliar.
“Selisih pencatatan ekspor ini merupakan potensi pendapatan negara yang hilang. Pada umumnya, perbedaan pencatatan adalah upaya menghindari pajak dan cukai, cuci uang hasil kejahatan, hingga menyembunyikan keuntungan di luar negeri,” ungkap Christiantoko, di Jakarta, Rabu (10/9) dalam keterangan yang diterima Farah.id.
Dalam menghitung aliran dana siluman dari ekspor, lanjutnya, NEXT Indonesia Center menggunakan metode yang berlaku secara internasional, yakni yang dikeluarkan oleh Global Financial Integrity (GFI). Lembaga tersebut merupakan think tank berbasis di Washington DC, Amerika Serikat yang fokus pada aliran dana gelap atau dana siluman (illicit financial flows, IFF), korupsi, perdagangan gelap dan pencucian uang.
Lebih lanjut Christiantoko memaparkan, dari penelusuran lembaga yang dia pimpin, untuk under-invoicing ekspor, nilai yang terbesar terjadi pada transaksi Indonesia dengan Tiongkok. Pada periode 2014-2023, nilainya mencapai US$53 miliar. Dalam kurs rupiah, yakni sekitar Rp863 triliun atau rata-rata Rp86,3 triliun per tahun (kurs tengah Bank Indonesia per 22 Juni 2025, US$1=Rp16.283).
Proporsi transaksi ekspor Indonesia dengan Tiongkok tersebut sekitar 13,19% dari total nilai under-invoicing dalam 10 tahun terakhir yang senilai US$401,6 miliar atau Rp6.539,3 triliun. Sedangkan selisih catatan ekspor ke Singapura ada di posisi kedua dengan nilai under invoicing US$46,4 miliar. Selanjutnya, disusul Amerika Serikat senilai US$32,7 miliar.
“Pemerintah harus serius menggali potensi pendapatan yang hilang ini sehingga dapat menurunkan peluang untuk menaikkan tarif pajak. Apalagi, manipulasi pencatatan ekspor tersebut merupakan tindakan kejahatan keuangan,” ujar Christiantoko.
Dari sisi komoditas, catatan under invoicing yang terbesar sepanjang periode 2014-2023 adalah limbah dan skrap logam mulia atau logam berlapis logam mulia (HS: 7112), yakni senilai US$15,4 miliar. Sekadar gambaran, Christiantoko menguraikan, komoditas tersebut merupakan sisa atau produk buangan dari industri pengolahan atau barang bekas yang mengandung senyawa atau lapisan logam mulia. "Sampah" ini berpotensi diproses kembali untuk mendapat logam mulia, misalnya emas.
Komoditas yang mencatat nilai under invoicing terbesar kedua dalam satu dekade terakhir adalah minyak bumi (HS: 2710) yang mencapai US$14,9 miliar. Di urutan ketiga, yakni batu bara (HS: 2701) dengan selisih pencatatan ekspor senilai US$12,8 miliar.
Sedangkan untuk kasus over pricing, nilai tertinggi dicatatkan oleh ekspor komoditas Indonesia ke Singapura, yaitu mencapai US$24,2 miliar pada periode 2014-2023. Berarti, ada potensi dana gelap yang masuk ke Indonesia sekitar Rp394,2 triliun.
Bangladesh dan Malaysia melengkapi tiga besar negara mitra dagang Indonesia yang mencatatkan over invoicing tertinggi. Nilai dana siluman dari dua negara tersebut masing-masing mencapai US$20,21 miliar dan US$17,24 miliar.
Pada periode 10 tahun itu, total over-invoicing ekspor Indonesia tercatat US$252,87 miliar, atau Rp4.117,5 triliun. Dengan demikian, senilai itu pula potensi masuknya dana gelap ke Indonesia.
“Mungkin uang tersebut saat ini sudah dianggap halal, karena dapat didalilkan sebagai aliran dana dari hasil perdagangan. Padahal, kegiatan ekspornya sambil memanipulasi faktur,” kata Christiantoko, mengingatkan.
KOMENTAR ANDA