Ilustrasi/ Net
Ilustrasi/ Net
KOMENTAR

BULAN Ramadan ibarat sebuah workshop atau pelatihan. Selama satu bulan penuh, umat Islam dituntut menjalani Ramadan dengan bersungguh-sungguh demi mendapatkan nilai akhir yang istimewa berupa ketakwaan.

Ramadan adalah bulan penuh barakah yang hendaknya diisi dengan sebanyak-banyak ibadah sunnah dan amal saleh yang bisa menyempurnakan pahala puasa kita.

Terlebih lagi dengan suasana Ramadan yang serba religius seharusnya memudahkan langkah kita untuk semakin giat beribadah.

Selama sebulan penuh, pelatihan Ramadan memperlihatkan apakah kita bisa terbiasa untuk melakukan lebih banyak tilawah Qur'an, lebih banyak salat sunnah, lebih banyak sedekah, lebih menjauh dari ghibah, juga lebih terampil mengelola emosi.

Karena siapa yang dimudahkan Allah untuk memperbanyak ibadahnya selama Ramadan, insya Allah akan dimudahkan pula untuk memelihara kebiasaan itu selama 11 bulan selepas Ramadan.
Namun, tak semua dari kita ternyata bisa menjalani pelatihan ini dengan baik.

Rasulullah saw. bersabda, "Telah datang kepada kalian bulan Ramadan, bulan penuh keberkahan. Allah mewajibkan atas kalian berpuasa padanya. Pintu-pintu surga dibuka padanya. Pintu-pintu jahim (neraka) ditutup. Setan-setan dibelenggu. Di dalamnya terdapat sebuah malam yang lebih baik dibandingkan 1000 bulan. Barang siapa dihalangi (mendapatkan) kebaikannya, maka sungguh ia terhalangi." (HR. An-Nasai)

Lihatlah penghujung hadis di atas: "Barang siapa dihalangi (mendapatkan) kebaikannya, maka sungguh ia terhalangi."

Ketika Ramadan ketiga ini jatuh di masa transisi endemi, kebahagiaan terasa begitu membuncah di dada. Silaturahmi kembali terajut. Jadwal buka bersama memenuhi kalender ponsel. Tak ada waktu kosong di akhir pekan, bahkan saat hari kerja. Pertemuan demi pertemuan berlangsung. Bahkan tak jarang, waktu sore hingga malam merayap, kita masih berusaha melepas rasa rindu dalam canda tawa.

Tak jarang sesampainya di rumah, rasa lelah begitu terasa. Untuk melaksanakan Tarawih rasanya berat sekali. Apalagi untuk Tahajud. Ada yang berjuang keras untuk melaksanakannya, ada yang memilih untuk 'sejenak' memejamkan mata namun ternyata kebablasan hingga waktu sahur tiba.

Ada yang mulai sibuk 'road show' dari mal ke mal mencari baju lebaran. Kangen dengan suasana belanja langsung di mal yang hiruk-pikuk. Sedangkan bagi yang belum berani atau malas mengunjungi public space, banyak waktu dihabiskan di depan layar ponsel atau laptop untuk mencari baju untuk lebaran. Maklumlah, semua label busana muslim menghadirkan koleksi Raya istimewa. Marketplace pun berlomba menggelar diskon hingga gratis ongkir.

Tanpa disadari, waktu tilawah berkurang. Jika di awal Ramadan kita bisa membaca 1 juz per hari, kini belum tentu lima lembar habis dibaca. Semakin hari justru semakin sedikit ayat-ayat Qur'an yang kita baca. Dan kini puasa telah memasuki hari ke-17 yang didahului dengan malam turunnya Al-Qur'an (Nuzul Al-Qur'an).

Bagaimana dengan Ramadan kita? Sudahkah kita terlambat untuk mendapatkan nilai baik dalam pelatihan ini?

Ucapkanlah bismillah sekuat hati untuk menghempaskan kemalasan dan 'kebisingan' dunia yang mengganggu kesyahduan Ramadan kita.

Saatnya untuk bangkit dari kelalaian. Saatnya untuk bangun dan berdiri menegakkan kembali ibadah-ibadah yang sempat tergerus. Saatnya untuk lebih mendekat kepada Allah seolah ini adalah Ramadan terakhir kita. Karena toh, kita memang tidak pernah tahu jika umur kita akan sampai pada Ramadan tahun depan.

Jangan lepaskan kemuliaan 10 hari terakhir Ramadan yang di dalamnya Allah anugerahkan lailatul qadr. Sungguh merugi kita bila kehidupan yang telah berjalan 20 tahun, 30 tahun, 40 tahun, atau 50 tahun tak pernah diisi dengan upaya mendapatkan malam seribu bulan.

Ini waktunya mensyukuri transisi endemi dengan cara yang lebih diridhai Allah Swt. Ini waktunya memperbaiki Ramadan kita.

 




Hubbu Syahwat

Sebelumnya

Bukankah Aku Ini Tuhanmu?

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Baca Juga

Artikel Tadabbur