Nuzul Al-Qur’an semakin mendekatkan hati kita dengan nilai-nilai kebaikan di dalam kitab suci, Sehingga mekarlah di hati masing-masing kecintaan yang murni terhadap Al-Qur’an/ Net
Nuzul Al-Qur’an semakin mendekatkan hati kita dengan nilai-nilai kebaikan di dalam kitab suci, Sehingga mekarlah di hati masing-masing kecintaan yang murni terhadap Al-Qur’an/ Net
KOMENTAR

ADA kritik yang dilontarkan terhadap tradisi yang dibangun muslimin Indonesia, di mana Ramadhan yang mereka gelar bagaikan festival saja. Tiap hari diselenggarakan berbagai acara; mulai dari sahur bersama, kuliah subuh, kajian dhuha, pesantren Ramadhan, buka puasa bersama, musabaqah tilawatil Qur’an, iktikaf, peringatan nuzul Al-Qur’an dan lain-lain.

Memang sih suasana Ramadhan di Indonesia lebih semarak dibanding para muslimin di negara-negara lain yang cenderung lebih adem ayem. Namun kesemarakan Ramadhan ini bukanlah kegiatan hura-hura apalagi huru-hara, melainkan tentu punya nilai positif, yang menyemangati ibadah puasa, yang menghidupkan suasana bulan suci.

Betapa keringnya keagamaan yang kita amalkan apabila tanpa dibarengi dengan perayaan. Toh kemeriahan itu pula yang menjadi syiar penting dari ajaran Islam tersebut.

Jadi, selama berdampak positif, ya mengapa tidak boleh dong! Asalkan kita tidak mengabaikan hakikat dari Ramadhan itu sendiri.

Misalnya, peringatan nuzul (turunnya) Al-Qur’an yang meriah dengan pengajian, tabligh akbar, berbagai lomba keislaman dan lainnya, tentu akan menjadi lebih baik apabila kita tidak mengabaikan hakikat dari peristiwa spektakuler tersebut.

Bukanlah suatu kebetulan bila nuzul Al-Qur’an terjadi di bulan Ramadhan. Al-Qur’an adalah kitab suci yang menjadi petunjuk hidup, yang diturunkan pertama kalinya di bulan suci pula. Sehingga kita pun dapat merenungkan kembali hakikat nuzul Al-Qur’an dengan bermodalkan kesucian diri, sebagai hasil dari riyadhah Ramadhan.    

Azyumardi Azra dalam bukunya Malam Seribu Bulan (2005: 98) menerangkan, setiap Ramadhan, kaum muslimin khususnya di Indonesia dapat dipastikan memperingati turunnya Al-Qur'an, yang disebut dengan nuzul Al-Qur’an; dan setiap kali pula orang-orang Islam diingatkan kembali tentang tujuan diturunkannya kitab suci agama Islam ini.

Pada hari-hari penuh ibadah ini, kiranya sangat tepat kalau kita mengkaji ulang turunnya Al-Qur'an tersebut; dengan harapan agar kaum muslimin tidak hanya semakin meningkat kecintaannya kepada Al-Qur'an, tetapi juga agar pemahaman dan pengamalannya menjadi lebih sesuai ajaran Al-Qur'an.

Dengan pengkajian ulang itu, kitab suci ini betul-betul “membumi” dalam segenap aspek kehidupan.

Ketika kegiatan membaca Al-Qur’an telah berlangsung dengan baik, maka dengan semangat nuzul Al-Qur’an kita tingkatkan levelnya menjadi lebih berupaya memahami apa yang dibaca dari kitab suci tersebut.

Oleh sebab itu, janganlah membacanya dengan tergesa-gesa. Bacalah Al-Qur’an dengan perlahan seraya meresapi makna-maknanya dan akan lebih dahsyat jika kita mempelajari tafsirnya. Sehingga yang diperoleh bukan hanya keindahan bacaan Al-Qur’an tetapi juga kedalaman maknanya.

Berikutnya, Al-Qur’an itu benar-benar meresap ke setiap nadi kehidupan, karena setelah memahaminya kita dapat mengamalkan setiap kandungan Al-Qur’an. Bukankah Al-Qur’an disebut hudan (petunjuk) yang akan menerangi di setiap langkah kehidupan umat manusia.

Komaruddin Hidayat dalam bukunya Psikologi Beragama (2007: 88-90) mengungkapkan ketika bulan Ramadhan, umat Islam memperingati peristiwa turunnya Al-Qur'an (nuzul Al-Qur'an). Target sesungguhnya adalah meraih hidayah serta meningkatkan cinta terhadap Al-Qur'an. Turunnya Al-Qur'an yang dikaitkan dengan bulan puasa memiliki makna simbolik, yaitu siapa yang menjalankan ibadah puasa secara sungguh-sungguh akan memperoleh hidayah Al-Qur'an yang nuzul atau turun dan memasuki seluruh relung hati, pikiran, dan membimbing perilaku kita.

Hal tersebut akan membuat kualitas hidup hari esok akan lebih baik ketimbang hari ini. Inilah makna terpenting dari peringatan nuzul Al-Qur'an.

Secara psikologis diharapkan peringatan nuzul Al-Qur’an semakin mendekatkan hati kita dengan nilai-nilai kebaikan di dalam kitab suci tersebut. Sehingga mekarlah di hati masing-masing kecintaan yang murni terhadap Al-Qur’an. Kemudian efeknya pun dapat dirasakan di mana kita pun tampil dalam keseharian dengan kepribadian Al-Qur’an.  

Dan bagi yang memperingati nuzul Al-Qur’an, jangan lupa untuk mengutamakan hakikat dari perayaan tersebut. Peringatan nuzul Al-Qur’an ini memberi kesempatan bagi kita untuk selalu kembali kepada kitab suci, apapun yang terjadi.

Bagi pihak yang tidak merayakan, pastikanlah Al-Qur’an senantiasa hadir dalam detak kehidupan kita. Toh tanpa perayaan, pada dasarnya Al-Qur’an selalu menyertai gerak langkah hidup.
        

    

 




Hubbu Syahwat

Sebelumnya

Bukankah Aku Ini Tuhanmu?

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Artikel Tadabbur