Ilustrasi/ Net
Ilustrasi/ Net
KOMENTAR

APA jadinya media tanpa iklan? Ya, tidak jauhlah dari umpama tubuh tanpa darah.

Dari itu, suka tidak suka, kita pun perlu berlapang dada memaklumi betapa manisnya iklan bertebaran.

Kita tidak dapat menolak keberadaan iklan, akan tetapi iklan bukannya tanpa kelemahan, bukan pula tidak ada yang perlu diluruskan. Iklan merupakan produk buatan manusia yang juga membutuhkan penataan.

Terlebih iklan-iklan yang menjamur di bulan suci, di antaranya ya justru berpotensi menggerus kesyahduan Ramadhan. Bagai jamur di musim hujan, tiba-tiba saja bermunculan iklan-iklan multivitamin, minuman energi dan berbagai suplemen lain-lain, yang dalam narasinya justru berimajinasi produk-produk mereka yang akan meningkatkan vitalitas tubuh selama berpuasa.

Malangnya lagi, sebagian iklan itu membangun imajinasi seolah yang lagi berpuasa akan lemas, loyo, letih, hingga lemah, sehingga membutuhkan multivitamin atau suplemen-suplemen yang tidak gratis itu.

Sengaja atau pun tidak, narasi macam ini mereduksi kesyahduan Ramadhan, padahal bukan itu yang sesungguhnya terjadi pada orang yang lagi berpuasa. Jangan sampai kehadiran Ramadhan justru menimbulkan kepanikan bagi orang-orang yang berpuasa.

Apakah tubuh lemas, lemah, loyo saat berpuasa?

Begini.

Kabar mengharukan bertiup syahdu dari pada atlet Indonesia yang tak lama lagi akan berlaga di ajang Sea Games Mei 2022 di Vietnam, tetapi mereka tetap berpuasa meski lagi giat-giatnya berlatih. Begitu pun dengan para pesepakbola muda timnas Indonesia yang setia berpuasa meski lagi latihan berat di Korea Selatan.

Sementara itu atlet-atlet bulutangkis (tentunya yang muslim) yang berlaga di Korea Open tetap berpuasa saat bertanding. Meski berjuang keras perah keringat, mereka setia dengan puasanya tanpa peduli dengan lawan yang minum berkali-kali.

Sebuah kabar terpuji yang sebaiknya diviralkan, tentang Hendra Setiawan (yang nonmuslim) rela tidak minum saat bertanding demi menghormati pasangannya Mohammad Ahsan yang tengah berpuasa.

Padahal kedua pebulutangkis itu sudah tidak muda lagi usianya, lho!

Kalau sudah bertanding tentu luar biasa menguras tenaga dan memerah banyak keringat, tetapi para atlet itu tetap teguh dengan puasa mereka. Dan hebatnya, para atlet yang berpuasa itu terus mendominasi kejuaraan demi kejuaraan.

Di negara-negara lain pun, yang mana muslim adalah minoritas, sudah menjadi pemandangan biasa saja ketika para atlet tetap berpuasa selama bertanding. Karim Benzema misalnya, yang dengan trengginas mencetak tiga gol dalam satu pertandingan. Pesepakbola klub Real Madrid, Spanyol itu malah mengakui ibadah puasa yang membuat dirinya tampil luar biasa.

Lantas, apakah puasa itu membuat tubuh lemah, loyo, lesu dan sebagainya? Semoga masing-masing insan yang bersih hatinya dapat menemukan jawaban yang terang.

Ada cerita nih!

Muhammad Hasan Aydid dalam bukunya Sehat Itu Nikmat Telaah Hadits Tentang Kesehatan (1996: 16-17) menerangkan, seorang tabib (dokter) diutus oleh Mugagis, raja Mesir, sebagai ungkapan solidaritas kemanusiaan dengan mengobati orang-orang di Madinah secara cuma-cuma.

Ternyata tidak ada seorang pasien pun yang datang berobat padanya. Namun, hal itu bukan karena dokter itu dibenci oleh penduduk setempat, bahkan sebaliknya penduduk Madinah sangat menyanyangi serta menghormatinya.

Akhirnya dokter tersebut datang menghadap Rasulullah untuk mohon pamit hendak pulang dengan alasan selama berada di Madinah tidak ada seorang pasien pun yang datang berobat kepadanya.

Begitu pula, selama peninjauannya di lapangan tidak dijumpainya seorang pun yang mengeluh karena suatu penyakit.

Nah! Dapatlah gambaran bagi kita semua betapa sehatnya kehidupan masyarakat Madinah yang dibimbing oleh Rasulullah. Mereka adalah kaum yang mencintai berpuasa, yang menyambut Ramadhan dengan deraian air mata kerinduan. Tidak ada yang lemah, apalagi sakit-sakitan.

Hormat-menghormati itu bukan hanya antar yang berpuasa dengan yang tidak, bukan pula sekadar antara muslim dengan nonmuslim. Penghormatan terhadap Ramadhan juga melibatkan siapapun dengan cara menjaga agar tidak terbangun narasi yang mengganggu kemuliaan bulan puasa yang hanya sekali setahun ini.

Tidak ada larangan bagi tayangan iklan, apalah jadinya produk tanpa kerja ciamik periklanan.

Dinamisnya pergerakan ekonomi tidak terlepas dari kerja keras dunia iklan. Dengan demikian, tidak dapat dipungkiri jasa-jasa periklanan.




Hubbu Syahwat

Sebelumnya

Bukankah Aku Ini Tuhanmu?

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Baca Juga

Artikel Tadabbur