Pemerintah India menegaskan sedang menyelidiki satu situs web yang melelang wanita Muslim. (Foto: OpIndia)
Pemerintah India menegaskan sedang menyelidiki satu situs web yang melelang wanita Muslim. (Foto: OpIndia)
KOMENTAR

PEMERINTAH India mengatakan bahwa mereka sedang menyelidiki sebuah website yang menawarkan perempuan Muslim untuk dijual. Lelang online palsu semacam ini muncul untuk kedua kalinya dalam waktu kurang dari satu tahun, dan hal itu memicu kemarahan di jagat media sosial terutama Twitter.

Menurut Mohammed Zubair, salah satu pendiri situs pengecekan fakta India Alt, di samping foto para perempuan Muslim dalam website itu terdapat tulisan "Bulli Bai Anda Hari Ini". Bulli Bai merupakan gabungan frasa slang vulgar yang mengacu pada kata pembantu dan alat kelamin laki-laki. Sebelum dihapus, Zubair telah mengambil tangkapan layar 100 foto perempuan Muslim yang diunggah di sana.

Dilansir CNN (3/1/2022), Zubair yang membantu penyelidikan polisi menyatakan bahwa dalam daftar lelang terdapat foto peraih Nobel perdamaian asal Pakistan Malala Yousafzai dan aktris terkemuka India Shabana Azmi.

Beberapa jurnalis dan aktivis juga menemukan foto mereka terpampang di website. Salah satu jurnalis, Ismat Ara, dalam laporannya kepada otoritas keamanan siber kepolisian India menulis bahwa website tersebut memang dirancang untuk mempermalukan dan menghina perempuan Muslim.

Kini laman tersebut telah dihapus. Tak ada manfaat lain kecuali memakai lelang palsu untuk melecehkan dan menjebak perempuan Muslim.

Website tersebut dibuat di GitHub, sebuah platform pengkodean Amerika Serikat yang digunakan pengembang untuk membangun dan meng-hosting perangkat lunak.

Juru bicara GitHub menegaskan pihaknya telah menghapus website tersebut dengan berpegang pada kebijakan terhadap konten dan perilaku yang melibatkan pelecehan, diskriminasi, dan penghasutan kekerasan. Akun pengguna ditangguhkan mengingat adanya laporan terkait pelanggaran kebijakan GitHub tersebut.

Website itu menimbulkan kemarahan banyak pihak, termasuk partai oposisi yang meminta Partai Bharatiya Janata (BJP) yang berkuasa segera bertindak untuk menghentikan pelecehan online yang menargetkan perempuan Muslim.

Pemimpin Kongres Shashi Tharoor menyatakan bahwa upaya 'menjual' seseorang secara online adalah sebuah kejahatan. Ia meminta kepolisian mengusut tuntas kasus tersebut dan memberi hukuman setimpal bagi pelaku.

Menyikapi banyaknya protes, Menteri Teknologi India Ashwini Vaishnaw menyatakan bahwa pemerintah telah bekerja sama dengan kepolisian di Delhi dan Mumbai untuk menyelesaikan masalah tersebut.

Butuh Berapa Pelecehan Lagi?

Kemunculan website berisi pelecehan online itu bukan yang pertama kali di India. Juli tahun lalu, kasus serupa juga terjadi.

Lebih dari 80 foto perempuan Muslim—termasuk influencer, penulis, dan jurnalis, dipasang di aplikasi palsu Sulli Deals, sebuah istilah yang biasa digunakan para laki-laki Hindu sayap kanan untuk menghina perempuan Muslim. Dalam website yang juga menggunakan GitHub itu, pengunjung website ditawari kesempatan untuk 'membeli' perempuan Muslim layaknya komoditas dalam lelang online.

Sejumlah perempuan Muslim mengatakan bahwa kasus pelecehan online pada Juli lalu adalah indikasi suasana hati (kebencian) terhadap Muslim di India sejak Perdana Menteri Narendra Modi dari BJP berkuasa di tahun 2014.

Dalam beberapa tahun terakhir, laporan kejahatan kebencian antiMuslim memang kian marak di India. Beberapa negara bagian bahkan diperintah oleh BJP untuk membuat Undang-Undang, yang menurut sejumlah kritikus, berkontribusi terhadap meningkatnya polarisasi agama.

Hiba Bég, seorang jurnalis, data analis, dan mahasiswa Columbia University School of International and Public Affairs, kota New York menemukan fotonya dimuat dalam dua kasus pelecehan online tersebut. Padahal menurutnya, ia sudah 'menyensor' dirinya sendiri dengan 'diam' di media sosial.

"We don't need FIR, we want arrests. Enough of bread-crumbing, show us actual action. We cannot let this happen a third time!" cuit @HibaBeg pada 3 Januari 2022.

Dalam bidang hukum, FIR alias First Information Report adalah dokumen yang disiapkan kepolisian di sejumlah negara di Asia Tenggara dan Asia Selatan termasuk Myanmar, India, Bangladesh, dan Pakistan ketika mendapat informasi adanya pelanggaran yang dapat dikenali (cognizable offence).

Pelanggaran yang dikenali membuat polisi memiliki wewenang untuk menangkap tanpa surat perintah dan memulai penyelidikan dengan atau tanpa izin pengadilan.

Muak dengan apa yang terjadi, Hiba pun mengecam pemerintahnya. "Butuh berapa banyak online deals lagi agar kalian bisa bertindak?"

 

 

 

 




Rakerkesnas 2024, Presiden: Indonesia Harus Bisa Manfaatkan Bonus Demografi

Sebelumnya

Tak Lagi Berstatus Ibu Kota, Jakarta Siap Melesat Jadi Pusat Perdagangan Dunia

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Artikel News