SETIAP kali lagu Libur Telah Tiba terdengar, memori masa kecil generasi 90-an hingga awal 2000-an langsung menyeruak. Nama Tasya Kamila pun tak bisa dipisahkan dari lagu-lagu anak yang riang, edukatif, dan penuh semangat.
Bersama alunan karya maestro AT Mahmud, Tasya sukses memopulerkan lagu-lagu seperti Anak Gembala, Pelangi, hingga Gembira Berkumpul, dan Barisan Musik. Atau yang tak kalah ikonik, lagu karya Eross berjudul Jangan Takut Gelap (duet manis bersama Duta Sheila on 7). Lagu-lagu ini bukan hanya catchy, tetapi juga membawa nilai dan suasana ceria khas masa kanak-kanak.
Apa yang membuat lagu-lagu ini begitu membekas? Pertama, sederhana namun kuat secara melodi dan lirik. Lagu-lagu AT Mahmud dibalut dengan musik riang yang mudah diingat dan dinyanyikan anak-anak. Tak ada teknik vokal rumit seperti vibrasi atau falseto yang dewasa—justru suara polos dan jernih khas Tasya kecil menjadi kekuatannya. Vokal tanpa pretensi itu terasa jujur dan mengena.
Di tengah gempuran musik digital saat ini, anak-anak Indonesia menghadapi krisis lagu anak. Minimnya konten yang merepresentasikan dunia anak, membuat mereka lebih akrab dengan lagu dewasa yang tak sesuai usia. Padahal, lagu anak berperan penting dalam membentuk karakter, imajinasi, hingga kecintaan terhadap budaya sendiri.
Hari Anak Nasional 2025 ini menjadi momen tepat untuk merenungkan: di mana tempat bagi keceriaan anak-anak dalam dunia musik kita? Sosok seperti Tasya Kamila dan karya AT Mahmud mengingatkan bahwa anak-anak juga pantas mendapatkan ruang yang sehat, menggembirakan, dan mendidik lewat musik.
Kini, tantangannya adalah melahirkan kembali lagu-lagu anak yang orisinal dan relevan. Bukan sekadar remake, tetapi karya baru yang tetap setia pada esensi: menyuarakan dunia anak dengan jujur, ringan, dan penuh warna. Karena masa kecil yang ceria adalah hak setiap anak Indonesia.
Selamat Hari Anak Nasional 2025!
KOMENTAR ANDA