KOMENTAR

ADA yang mempertanyakan airmata yang meleleh di pipi suci Rasulullah. Sebagai bangsa gurun pasir yang keras hidupnya, tetesan airmata dipandang kelemahan, apalagi bagi laki-laki.

Begitulah luar biasanya Nabi Muhammad, di tengah kepungan keras kepalanya orang-orang Jahiliyah, beliau malah memiliki kelembutan hati, yang tercermin dari airmata yang meleleh itu.

Ibrahim, putra yang amat dicintai dan dibanggakan oleh beliau meninggal dunia ketika masih bayi. Nabi Muhammad punya beberapa anak perempuan yang luar biasa, akan tetapi dengan memiliki anak laki-laki maka kebanggaan dan kebahagiaan terasa sempurna.

Dan harapan besar itu terpancar dari bayi bernama Ibrahim, pasalnya beliau pernah sebelumnya memiliki beberapa putra dari Khadijah tetapi meninggal pula di usia amat belia.

Apa mau di kata, suratan takdir itu datang bersama sakit yang mengharukan, hingga ajal Ibrahim pun menjemputnya dari dekapan sang ayahanda.

Sayyid Sabiq dalam buku Fiqih Sunnah 2 menerangkan, para ulama sepakat bahwa menangisi mayat merupakan tindakan yang diperbolehkan. Namun dengan syarat tidak disertai jeritan dan ratapan; karena telah diriwayatkan dalam sebuah hadis bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Sesungguhnya Allah tidak menyiksa (mayat) karena linangan air mata dan kesedihan hati, tapi menyiksa karena ini (beliu mengisyaratkan lisannya); atau jika Dia tidak menyiksa, berarti Dia mengasihinya.”

Rasulullah menangis karena Ibrahim (putra beliau) meninggal dunia. Beliau bersabda, “Sungguh mata mengalirkan airmata dan hati menjadi bersedih. Kami tidak mengucapkan selain ucapan yang diridai Tuhan kami. Sungguh kami amat bersedih atas kepergianmu, wahai Ibrahim.”

Ketika Umar bin Khattab terkena tikaman lalu pingsan, ia ditangisi oleh orang-orang dengan penuh ratapan dan jeritan. Setelah sadar dari pingsan, Umar berkata, “Apa kalian tidak mengetahui bahwa Rasulullah bersabda, "Sesungguhnya mayat disiksa karena tangisan orang yang masih hidup.”

Dengan demikian kesedihan itu tidak dilarang. Bukankah Tuhan yang melengkapi hati kita, selain riang gembira juga ada duka lara. Akan tetapi, jagalah kesedihan itu tetap dalam bingkainya.

Bukan hanya Nabi Muhammad, terkait dengan meninggalnya Ibrahim, bahkan kaum muslimin itu dilanda duka mendalam. Bertepatan dengan itu terjadilah gerhana matahari, sebagian orang memahaminya alam ikut berduka cita.

Rasulullah tidak mau mendramatisir keadaan, kesedihan itu ada batasnya, tidak boleh mengalahkan akal sehat. Dalam hadisnya yang agung, Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya matahari dan bulan tidak gerhana karena meninggal atau lahirnya seseorang. Jika kamu melihatnya, shalatlah dan dan berdoalah.” (HR. Bukhari) (dikutip dari Muhammad Fuad Abdul Baqi dalam bukunya Al-Lu'lu' wal Marjan #1)

Kemudian episode yang luar biasa panjang dari pandemi ini mencetak rentetan kepedihan. Terlebih bagi kita yang dalam mendengar berita kematian yang diumumkan melalui corong masjid. Sebelumnya, berita kematian itu cukup langka, tapi kini bisa berkali-kali diumumkan dalam sehari.

Itu bukan pengumuman biasa, dibaliknya ada linangan airmata, keperihan dari kesedihan, harapan yang terhempas dan lain-lain. Memang sih sedih itu tidak dilarang, tapi jagalah tetap dibingkainya, jangan sampai mengkhianati akal sehat.

Akhirnya, kita memang tidak punya apa-apa di dunia ini, jadi jangan pernah merasa benar-benar memiliki. Kejadiannya hanyalah; kalau tidak ditinggal pergi maka kita yang meninggalkan, kalau pun pernah mendapatkan artinya kita akan kehilangan.

Sederhana sekali, tapi cukuplah memberi ketenangan tatkala benar-benar ditinggal pergi. Mau bagaimana lagi, dunia ini beserta segala isinya memang bukan milik kita, bahkan bukan pula tempat hakiki bagi kita.   

Pilihan bijak adalah merelakannya, karena yang pergi tidak akan kembali lagi. Dan yang ada adalah kita akan menyusulnya, cepat ataupun lambat. Kerelaan ini memberi kita perspektif yang lebih adil terhadap makna kehidupan, bahkan kematian.




Hubbu Syahwat

Sebelumnya

Bukankah Aku Ini Tuhanmu?

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Artikel Tadabbur