Ilustrasi perempuan bekerja. (Freepik)
Ilustrasi perempuan bekerja. (Freepik)
KOMENTAR

BANYAK perempuan di Indonesia yang masih bertanya-tanya: “Apakah mungkin memulai karier setelah menikah?” Pertanyaan ini wajar, sebab perjalanan perempuan memang penuh pilihan dan konsekuensi.

Seorang jurnalis perempuan bernama Fathina membagikan pengalamannya menjadi seorang ibu berkarier—bukan untuk memberi jawaban yang mutlak, melainkan sebagai pengingat bahwa pilihan ada di tangan setiap perempuan.

“Tantangan terbesar jelas manajemen waktu. Rasanya 24 jam itu tidak pernah cukup,” ungkapnya. Ia bercerita bagaimana ia belajar pelan-pelan dengan sistem trial and error.

Saat keluarga sedang baik-baik saja, sementara pekerjaan kantor sedang dikejar deadline, ia meminta pengertian dari keluarga. “Kuncinya adalah tahu apa yang paling butuh diprioritaskan di momen itu.”

Jika waktu adalah tantangan, maka dukungan pasangan merupakan fondasi penting. “Kalau ada support, hati jadi lebih tenang. Izin ke mana-mana lebih mudah, dan kalau terpaksa harus bekerja dari rumah, dia bisa memaklumi. Komunikasi itu kunci,” katanya saat diwawancarai Farah.id.

Bagi perempuan, karier bisa menjadi salah satu sumber kebahagiaan hidup. Kebahagiaan tersendiri yang wujudnya bisa bertransformasi seiring bertambahnya kedewasaan dan tanggung jawab.

Jika dulu ketika masih melajang, bahagia berkarier terletak pada kebebasan finansial. Sementara kini, bahagia itu hadir dalam bentuk lain: saat karier dan keluarga bisa berjalan beriringan. “Uang memang penting, tapi sekarang yang lebih utama adalah aktualisasi diri,” jelasnya.

Di balik semua itu, ada kondisi yang kerap mengundang kontroversi, bahkan di antara para perempuan sekali pun. Ia tak menutupi bahwa sering merasa bersalah ketika waktunya dengan keluarga (suami dan anak-anak) harus terbagi dengan pekerjaan.

Namun, ia memilih cara pandang berbeda. “Sebisa mungkin seimbang, meskipun itu hampir mustahil. Intinya adalah tahu kapan harus fokus ke keluarga dan kapan ke pekerjaan. Yakinkan pada anak-anak bahwa bekerja tidak membuatnya melupakan mereka.”

Karena itulah energi ekstra sangat dibutuhkan agar selepas bekerja, ibu masih memiliki waktu berkualitas bersama keluarga.

Bagaimana dengan tekanan sosial? Ia menegaskan bahwa hal itu tidak pernah ia alami. “Selama anak sehat, akhlaknya baik, dan berprestasi, orang lain tidak punya alasan untuk men-judge. Yang penting kita berusaha menjalankan peran sebagai ibu dengan sebaik-baiknya,” pungkasnya.

Pengalaman Fathina mengajarkan satu hal penting: menjadi perempuan berarti berani memilih. Tak ada pilihan yang benar atau salah, yang ada hanyalah kesadaran atas konsekuensi dari setiap langkah.

Perempuan boleh bermimpi setinggi-tingginya, asalkan tetap tahu prioritas dan menjalaninya sepenuh hati. Karena pada akhirnya, kebahagiaan itu hadir ketika kita ikhlas menapaki jalan hidup yang kita pilih.

 




Gina S. Noer: Sineas Perempuan dengan Karya yang Selalu Menginspirasi

Sebelumnya

'Selangkah di Belakang', Namun Selalu di Garis Depan

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Artikel Women