Ilustrasi hewan kurban / Net
Ilustrasi hewan kurban / Net
KOMENTAR

KETUA Umum Wadah Silaturahim Khotib Indonesia (WASATHI) Ustaz Fauzan Amin menegaskan 3 hal penting yang harus dilakukan umat Islam di masa pandemi, terutama menjelang tibanya Hari Idul Adha 1442 H yang jatuh pada tanggal 20 Juli 2021.

Pertama, mengikuti pemerintah itu hukumnya wajib. Dalam masa pandemi, apa yang diperintahkan pemerintah—seperti lockdown atau PPKM darurat yang diterapkan saat ini—sejatinya sama dengan yang diperintahkan Rasulullah saw.

Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan Bukhari-Muslim, Rasulullah bersabda, "Wabah thaun adalah kotoran yang dikirimkan oleh Allah terhadap sebagian kalangan bani Israil dan orang-orang sebelum kalian. Kalau kalian mendengar ada wabah thaun di suatu negeri, janganlah kalian memasuki negeri tersebut. Namun bila wabah thaun itu menyebar di negeri kalian, janganlah kalian keluar dari negeri kalian menghindar dari penyakit itu."

Kedua, Covid-19 adalah benar adanya. Umat Islam diperintahkan agama untuk berusaha menghindari pandemi. Mematuhi protokol kesehatan dan menaati aturan pemerintah termasuk mengikuti vaksinasi adalah ikhtiar untuk terhindar dari wabah penyakit.

Ketiga, esensi merayakan Idul Adha adalah nilai ketakwaan, bukan tradisi perayaan. Salat Ied bisa di rumah bersama keluarga dan menyembelih kurban bisa dilakukan lewat lembaga terpercaya. Yang terpenting adalah bagaimana menghayati hikmah hari raya qurban di dalam hati.

Kisah Nabi Ibrahim as. yang menyembelih putranya, Ismail, adalah soal keimanan yang kuat kepada Allah, ketakwaan, dan keikhlasan. Itulah yang harus kita resapi dengan khidmat.

Demikian pula dengan berhaji yang sudah 2 tahun terakhir belum bisa dilaksanakan. Haji adalah bagi yang mampu dan tidak berhalangan. Pandemi ini mengharuskan mereka yang tertunda hajinya untuk mengambil hikmah yaitu untuk bersabar.

Mirisnya, di tengah angka kasus Covid-19 yang sangat tinggi saat ini, masih banyak masyarakat yang termakan hoaks.

"Masyarakat terprovokasi dengan hal-hal yang tidak mereka pahami, tapi ditelan mentah-mentah. Jadilah orang yang paham, senang mencari tahu, senang membaca, senang mendengarkan. Harus kristis melihat ada kepentingan apa di balik hoaks. Dan (harus diingat), ada ancaman serius untuk orang yang senang menyebarkan berita hoaks. Di dunia, dia dikenai UU ITE dan UU lainnya. Lalu ada pula ancaman di akhirat, dia akan mendapat azab yang sangat pedih," ujar Ustaz Fauzan saat mengisi diskusi virtual Bincang Sehat RMOL.ID bertajuk "Khidmat Rayakan Idul Adha di Tengah Pandemi", Jumat (16/07/2021).

Ustaz Fauzan juga mengingatkan umat Islam agar tidak membenturkan ajaran agama dengan protokol kesehatan. Karena sejatinya, prokes adalah rangkaian ikhtiar seorang Muslim untuk melaksanakan perintah Rasulullah saw. dalam menghindari wabah penyakit.

"Protokol kesehatan dan menjaga jiwa adalah cara kita menjaga agar terhindar dari bahaya. Jangan pasrah sepenuhnya. Harus ikhtiar. Memang betul, semua tergantung kehendak Allah. Tidak ada yang bisa menunda ajal, tetapi tetap harus ikhtiar. Ingat, Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum sebelum mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri (QS. Ar-Ra'd: 11)," tegas Ustaz Fauzan.

Di antara salah kaprah yang banyak terjadi di tengah umat Islam adalah tentang shaf dalam salat. Ada saja yang mempermasalahkan bahwa menjaga jarak dalam salat tidak sesuai dengan perintah Islam. Padahal pandemi adalah sebuah keadaan darurat.

Atau banyak pula orang mengatakan 'Mengapa takut corona? Kita harusnya takut kepada Allah'. "Perbandingan itu jelas tidak sebanding. Kita harus berusaha dulu, baru kita pasrah. Ikhtiar dulu baru tawakal. Yang dicontohkan Rasul sesuai dengan syariat Islam. Jika kita mau lurus beragama, lakukan apa yang dilakukan Rasul. Ikhtiar menghindari wabah adalah bagian dari ajaran agama."

Termasuk juga ketika seseorang tidak mau mematuhi prokes tapi saat terkena Covid-19 mengatakan 'Ini adalah ujian dari Allah'. Atau orang mengatakan bahwa sudah banyak berdoa setiap hari tapi pandemi tidak juga berakhir.

"Itu tandanya ikhtiar kita kurang. Doa banyak, doa kencang, tapi (prokes) tidak dikerjakan, bagaimana bisa? Doa di masjid, tidak mau jaga jarak, keluar rumah seenaknya tidak pakai masker. Salah. Setelah ikhtiar belum ada hasil maksimal, kembalikan kepada Allah," ujar Ustaz Fauzan lagi.

Melihat intoleransi dan benturan antarumat yang banyak terjadi saat ini, bagaimana menciptakan kedamaian di tengah pandemi?

"Ini persoalan krusial. Saya harap semua orang harus paham. Pemerintah harus melakukan sosialisasi peraturan dengan lebih intens sekaligus memahami kondisi masyarakat yang memang prihatin. Harus bisa menahan diri. Aparat misalnya, dalam melakukan tugas harus memahami bahwa yang dihadapi adalah rakyat kecil. Demikian juga masyarakat, harus tahu diri, harus mengerti bahwa yang dilakukan pemerintah adalah demi kemaslahatan bangsa Indonesia."

"Ikhtiar itu harus saling bahu-membahu. Yang sudah paham mengedukasi yang lain. Jika ingin tahu tentang virus, bisa tanya ke dokter, ahli virus, atau satgas Covid-19. Semua hal itu penting untuk menyatukan pemahaman bahwa Covid-19 adalah musuh bersama," tambah Ustaz Fauzan.

Di sinilah peran pemuka agama untuk bisa mengarahkan umat agar taat prokes. Menurut Ustaz Fauzan, ada juga provokasi yang dilakukan oknum pemuka agama. Karena itulah ia berharap umat bisa mendengarkan pendapat dari pemuka agama yang tepat. Di Indonesia, ada MUI, NU, atau Muhammadiyah, organisasi besar yang para ulamanya bertanggung jawab terhadap umat. Kredibiltas mereka insya Allah bisa dipertanggungjawabkan. Mereka tidak menyebarkan hoaks.

Tokoh agama memiliki peran sentral di masyarakat untuk menyadarkan masyarakat tentang bahaya pandemi.

Wadah Silaturahim Khotib Indonesia (WASATHI) misalnya, selalu memberi edukasi tentang ikhtiar menjauhi wabah seperti yang diperintahkan Rasulullah melalui berbagai khutbah Jumat maupun terjun langsung ke masyarakat.

"Jangan sembarangan mengikuti pemuka agama. Pilihlah ustaz yang sudah jelas ilmunya dan organisasinya (seperti MUI, NU, Muhammadiyah). Jangan hanya tertarik pada ustaz yang terkenal di tv atau media sosial (internet), tidak tahu belajar di mana tahu-tahu dilabeli "ustaz". Sosok ustaz yang tepat itu harus bisa menyadarkan masyarakat di tengah kebebasan berekspresi yang masif saat ini. Memilih ustaz yang benar akan menentukan jalan kebenaran kita."

 




Rakerkesnas 2024, Presiden: Indonesia Harus Bisa Manfaatkan Bonus Demografi

Sebelumnya

Tak Lagi Berstatus Ibu Kota, Jakarta Siap Melesat Jadi Pusat Perdagangan Dunia

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Baca Juga

Artikel News