Ilustrasi/ Net
Ilustrasi/ Net
KOMENTAR

SETIAP kita menginginkan husnul khatimah di ujung perjalanan hidup ini. Kita mengharapkan Allah Swt. kelak memudahkan sakaratul maut yang kita alami.

Kita juga menginginkan bisa menghembuskan napas terakhir di tengah keluarga. Di tengah orang-orang yang mencintai dan mendoakan kita dengan segenap keikhlasan.

Kematian bagi kebanyakan orang terdengar menakutkan, akan tetapi proses sakaratul maut itu terkadang lebih menggetarkan nyali. Bagaimana pun juga, tak seorang manusia bisa memilih jalan kematiannya. Apa penyebabnya, manusia tak bisa menebak takdir Yang Mahakuasa.

Demikian pula kisah para awak kapal Nanggala 402 yang harus meregang nyawa saat jauh dari keluarga. Jauh dari sanak saudara. Nun jauh di kedalaman lautan.

Segenap bangsa menyematkan doa terindah untuk para awak Nanggala 402. Berharap Tuhan memberikan keajaiban bagi para prajurit. Kiranya Tuhan dapat mempertemukan kembali dengan keluarga tercinta untuk terakhir kalinya. Meski hanya berjumpa raga tanpa nyawa.

Dan ketika akhirnya KRI Nanggala pun terbelah tiga, terbelah pulalah hati kita bersama dalam lara tiada terkira, tatkala diumumkan 53 awak kapal dinyatakan gugur.

Semuanya berasal dari Tuhan, dan kembali jua kepada-Nya. Selamat jalan pahlawan!

Apa yang menyebabkan tenggelamnya Nanggala 402 tentu masih diselidiki. Ada dugaan kerusakan listrik.

Ataukah kejadian ini bukan karena human error melainkan faktor alam? Kita belum bisa mengatakannya pasti.

Akan tetapi takdir itu terus berpusar dengan kebenarannya.

Betapa tidak berdayanya manusia berhadapan dengan kekuatan alam. Misteri daratan saja belum banyak tersibak, apalagi dasar lautan yang demikian misterius. Semoga Tuhan memberi mereka ketenangan di alam sana, dan memberikan balasan terbaik atas amalan mereka, atas tugas-tugas sucinya.

Amin ya Rabbal Alamin.

Tetapi kehidupan terus berjalan, dengan berbagai cerita pahit manisnya. Akhirnya kita hanyalah insan yang menunaikan tugasnya masing-masing. Tidak ada tugas yang bebas risiko, bukan hanya angkatan laut atau militer saja yang bisa kehilangan nyawa.

Tugas adalah tanggung jawab dan kapan saja risiko terpahit itu akan menelan, datang tanpa diduga-duga. Bahkan risiko terberat itu juga memakan korban orang-orang saleh yang tengah menunaikan tugas mulia.

Betapa mendalamnya cinta suci Rasulullah terhadap Ja’far bin Abi Thalib. Saudara sepupunya itu adalah pemimpin dari rombongan kaum muslimin yang hijrah ke Habasyah, dengan gagah perwira dia menghadapi muslihat musyrikin Quraisy yang menekan Raja Najasyi agar mengusir kaum muslimin. Akan tetapi Ja’far ternyata amat cerdas dan jago berdiplomasi. Seluruh kaum muslimin di Habasyah aman-aman saja berkat kehebatan Ja’far dalam menunaikan tugas.

Sepuluh tahun kemudian, Ja’far dan seluruh Muhajirin dari Habasyah tiba di Madinah dengan selamat. Tak terkira kebahagiaan Rasulullah menyambut kedatangan Ja’far bin Abi Thalib. Karena betapa besar kerinduan Nabi Muhammad terhadap Ja’far, lelaki saleh yang menunaikan amanah tugasnya dengan amat heroik.

Ja’far belumlah puas melepas kerinduan dengan aroma bumi Arabia, kemudian tiba lagi tugas yang lebih besar. Ja’far ikut dalam ekspedisi militer ke Perang Mu’tah, yang mana lawan tandingnya adalah kerajaan terbesar di dunia ketika itu, yaitu Romawi beserta sekutunya. Berikutnya yang terjadi hanyalah rentetan aksi heroik!

Dalam perang tersebut, 3.000 pasukan muslim harus menghadapi pasukan musuh yang berjumlah 200.000 orang. Perang berkecamuk dengan dahsyat, satu per satu panglima muslimin bertumbangan, syahid satu digantikan yang lain, dan syahid lagi lalu digantikan lagi.

Begitu pula saat tiba giliran Ja’far yang bertugas sebagai panglima. Dia maju bertempur gagah berani hingga senjata-senjata musuh menghunjam tubuhnya, dan akhirnya Ja’far syahid dalam tugas suci.

Kematian Ja’far membuat Nabi Muhammad amat terpukul. Rasul pun mendatangi keluarga Ja’far, menemui istrinya, Asma binti Umais dan juga anak-anaknya.

Manshur Abdul Hakim dalam buku Khalid Bin Al-Walid Panglima Yang Tak Terkalahkan menerangkan, dari Asma binti Umais, istri Ja'far, ia mengatakan, “Rasulullah menemui kami ketika Ja'far dan para sahabatnya gugur dalam medan perang.”

Rasulullah bersabda, “Bawalah kemari anak-anak Ja'far.”

Maka aku mendatanginya bersama mereka semua, Rasulullah meneteskan air mata sampai membasahi jenggotnya. Aku bertanya, “Wahai Rasulullah, demi ayah dan ibuku, apa yang membuat engkau menangis? Apakah ada berita yang sampai kepada engkau tentang Ja’far dan para sahabatnya?”

Nabi menjawab, “Ya, hari ini mereka telah gugur sebagai syahid.”




Banjir Bandang Lahar Dingin Terjang Sejumlah Wilayah Sekitar Gunung Marapi Sumbar, BNPB: Masyarakat Harus Waspada Bahaya Susulan

Sebelumnya

Jemaah Haji Tak Boleh Melepas Gelang dan Kalung Identitas Selama di Tanah Suci, Ini Alasannya

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Artikel News