Ilustrasi
Ilustrasi
KOMENTAR

Pemikiran dari saya paling ditunggu di rapat itu. Terutama karena saya tidak bersedia menjadi pengganti Gus Amik.

Ayah saya berpesan: saya harus mengabdi dan menghormati guru, sampai pun ke anak cucunya. Kalau saya jadi kiai di situ, berarti saya tidak memegang pesan orang tua.

Ayah saya memang penganut tarekat satariyah. Sang guru adalah mursyid (pemimpin spiritual) satariyah. Di umur 15 tahun pun saya sudah dibaiat untuk ikut menapaki jalan spiritual itu; yakni mencari "sangkan-paraning-dumadi" lewat dzikir ''hu'' yang banyak dicaci-maki ustad masa kini, tapi dibela dengan baik oleh ulama seperti Gus Baha' –lewat YouTube-nya yang sangat populer itu.

Hidup ini dari mana dan hendak ke mana.

Saya sempat bersama Gus Amik keliling Jawa Barat. Ke Pamijahan. Ke Panjalu. Ke Buntet. Ke Benda. Mendalami asal usul aliran tarekat yang sangat dekat dengan kebatinan Jawa ini.

Saya juga bertemu seorang doktor yang disertasinya tentang satariyah. Saya pun tahu: Islam mulai mengalami benturan spiritual setelah melebar ke wilayah non-Arab.

Misalnya ketika Islam melebar ke Parsi –yang merasa peradabannya lebih tinggi dari Arab.

Lebih utama lagi ketika Islam  melebar sampai ke India –yang di zaman itu jauh lebih kaya dari negara-negara Arab –yang belum menemukan minyak bumi. India juga merasa mempunyai peradaban lebih tinggi dari Arab.

Maka jamaah haji dari India (waktu itu Pakistan masih di dalam India) begitu ''menguasai'' Makkah. Dan Madinah. Dengan filsafat pemikiran yang berbeda dengan yang di Arab. Juga dengan harga diri yang tidak  kalah tinggi.

Maka terjadilah benturan pemikiran filsafat keagamaan. Antara Arab dan non-Arab. Satariyah adalah salah satu hasil dari benturan-benturan pemikiran itu.

Gus Amik punya dua anak laki-laki. Yang pertama berkarir di perusahaan besar. Yang kedua baru lulus fakultas hukum Universitas Islam Indonesia (UII) Jogjakarta. Kebetulan yang kedua itu pendidikan agamanya Ibtidaiah, Tsanawiyah, dan Aliyah.

Maka saya ajukan ia menjadi pengganti ayahnya.

Saya juga minta agar ia melanjutkan S-2 di India. Agar meraih gelar master di salah satu universitas Islam tertua di dunia: Aligarh University. Tidak jauh dari Taj Mahal, Agra. Kebetulan saya punya teman aktivis muslim di Agra.

"Kenapa tidak di Timur Tengah?" tanyanya.

"Sudah terlalu banyak yang lulusan Timur Tengah," jawab saya.

Yang tidak saya katakan padanya adalah: agar kiai baru ini pernah merasakan hidup sebagai minoritas. Bahkan minoritas yang lagi tertekan seperti di India saat ini.

Yang juga tidak saya katakan adalah: agar ia mendalami benturan-benturan pemikiran di sana.

Semua peserta rapat pun  setuju. Bahkan ada yang usul rapat hari itu langsung memutuskannya. Tapi karena pengangkatan itu perlu legalitas lebih luas disepakati perlu forum yang lebih resmi: 30 Januari depan.

Rapat hari itu sebenarnya sudah memperhatikan protokol kesehatan. Lokasinya di aula besar pesantren. Yang hadir dibatasi hanya 30 orang. Tempat duduknya sangat berjauhan. Semua memakai masker. Tidak ada suguhan minuman. Pun makanan.

Waktu mikrofon disodorkan ke saya disemprot disinfektan lebih dulu. Ketika mik yang sama dipakai yang lain, saya tidak mau lagi bicara pakai mik.

Sebelah kiri saya istri Gus Amik, seorang doktor yang sudah sembuh dari Covid –mestinya sudah negatif. Sebelah kanan saya, Kiai Misbahul Huda, wakil ketua, yang juga putra guru nahwu-shorof saya dulu –grammar dalam bahasa Arab. Mas Huda, cum laude elektro UGM, juga pernah jadi dirut banyak anak perusahaan yang saya pimpin dulu.

Waktu mau pulang, santri-santri SMK yang dari tim sepeda motor listrik Take-Run  minta foto bersama.

Saya langsung pulang ke Surabaya.

Empat hari kemudian saya positif Covid-19.

Misbahul Huda juga.




Cerita Pengalaman Vloger asal China Menginap di Hotel Super Murah Hemat Bajet

Sebelumnya

Muara Yusuf

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Baca Juga

Artikel Disway