Ketika kita bersujud kepada Allah, berarti kita meyakini bahwa Allahlah Tuhan yang Maha segalanya/ Foto: Ilustrasi (Net)
Ketika kita bersujud kepada Allah, berarti kita meyakini bahwa Allahlah Tuhan yang Maha segalanya/ Foto: Ilustrasi (Net)
KOMENTAR

SEJARAH sujud telah dimulai dengan tragedi pembangkangan terhadap Tuhan. Kejadiannya begini, atas kehendak Allah maka diciptakanlah Nabi Adam (baca: manusia) yang mengemban amanah khalifah di muka bumi.

Dan atas karunia Allah pula, beberapa kelebihan terdapat pada diri Adam yang tidak dimiliki oleh makhluk Tuhan lainnya. Kemudian Allah memerintahkan semuanya bersujud, dan yang menaati golongan malaikat, kecuali bangsa iblis dan kroninya yang membangkang.

Maka terjadilah dialog yang dirangkum surat Al-A’raf ayat 12:
(Allah) berfirman, “Apakah yang menghalangimu (sehingga) kamu tidak bersujud (kepada Adam) ketika Aku menyuruhmu?”
(Iblis) menjawab, “Aku lebih baik daripada dia. Engkau ciptakan aku dari api, sedangkan dia Engkau ciptakan dari tanah.”

Namun Allah menyingkap penyebab pembangkangan iblis adalah, “...enggan, sombong dan tergolong kafir.” (Lihat surat Al-Baqarah ayat 34)

Tentunya perintah sujud tersebut bukanlah dalam rangka menyembah Adam, melainkan bukti ketaatan kepada Allah. Ada orang shalat di alam terbuka, lalu ketika bersujud di depannya lewatlah unta, bukan berarti dirinya menyembah unta dong. Begitu pun tatkala orang bersujud di depan Ka’bah, dia tidak menyembah batu Hajarul Aswad, melainkan tentang hati yang menaati Tuhan.

Syahruddin El-Fikri dalam buku Sejarah Ibadah mengungkapkan, sebagian agama lain menetapkan tata cara berupa gerakan kemudian diam dengan tenang diiringi bacaan-bacaan khusus yang dihafal. Dan masih ada bentuk-bentuk ritual yang lain. Hanya saja, diam dengan tenang ketika berkomunikasi dengan Tuhan hampir menjadi tiang pokok ritual kebanyakan agama, kemudian diteruskan dengan gerakan rukuk dan sujud.

Buku Sejarah Ibadah menerangkan pula, dan, sujud merupakan ungkapan pengagungan terhadap objek yang disembah. Agama Yahudi menilai sujud yang benar adalah yang semata-mata ditujukan kepada Tuhan Pencipta, sedangkan sujud kepada manusia adalah sujud paganistik. Orang Arab (pagan) menolak rukuk dan sujud lantaran dua gerakan tersebut dinilai sebagai simbol kerendahan dan kehinaan.

Sejatinya bukan hanya Islam, agama atau kepercayaan lain rata-rata memiliki sujud dalam ritualnya. Agama-agama Samawi yang masih murni pun tidak terlepas dari ibadah yang mengandung sujud. Bagaimana Islam memberi makna terhadap sujud?     

Filosofinya, di antaranya, terdapat pada surat Ar-Ra'd ayat 15, yang artinya, “Dan semua sujud kepada Allah, baik yang di langit maupun yang di bumi.”

Hakikat bersujud hanyalah kepada Allah semata, hal demikian berlaku bagi semua yang ada di bumi dan langit. Tidak ada sujud yang dibenarkan kepada selain Allah, entah itu kepada manusia apalagi berhala. Mengapa hanya kepada Allah semata? Karena sujud merupakan kepatuhan total yang dipegang teguh bersama keimanan.

Imam al-Ghazali dalam bukunya Rahasia Shalatnya Orang-orang Makrifat menerangkan, sujud secara harfiyah berarti patuh. Bila manusia bersujud, berarti ia siap untuk mematuhi segala perintah dan menjauhi semua larangan dalam situasi dan kondisi bagaimanapun, sebagaimana alam semesta yang tunduk pada ketentuan Allah.

Sujud merupakan peringatan agar kita senantiasa menghambakan diri kepada Tuhan yang Maha Besar. Ketika kita bersujud kepada Allah, berarti kita meyakini bahwa Allahlah Tuhan yang Maha segalanya. Sebaliknya, ketika enggan bersujud kepada Allah, berarti kita sombong sebagaimana iblis yang tidak mau tunduk pada ketentuan-Nya.

Imam al-Ghazali  menegaskan, seluruh rukun shalat yang mencakup qalbi (naluri), qauli (lisan) dan fi'li (perbuatan) mempunyai makna dan maksud yang amat mendalam. Namun di antara rukun yang paling disukai oleh Allah adalah sujud.

Sebab gerakan sujud -secara lahiriah- merupakan sikap menghinakan (merendahkan) diri di hadapan-Nya, berikrar dan mengakui bahwa Allah Tuhan yang layak disembah, ditakuti, dicintai dan hanya Dia tempat berserah diri serta memohon pertolongan.

Dari itu pula tempat ibadah umat Islam dinamakan masjid, yang berarti tempat sujud, yang terbentuk dari bahasa Arab sajada–yasjudu–sujuudan. Kalau memahami hakikat makna sujud yaitu kepatuhan, maka wajarlah masjid bukan hanya tempat shalat saja, melainkan berbagai kegiatan digelar yang merefleksikan kepatuhan terhadap Allah. Bukan hanya sujud dalam makna lahirah atau fisik, melainkan juga sujudnya hati.

Nasaruddin Umar pada buku Shalat Sufistik: Meresapi Makna Tersirat Gerakan dan Bacaan Shalat menerangkan, secara spiritual, sujud juga bisa dimaknai sebagai pencurahan dan penyerahan secara total (tafwidh) kepada Allah. Seolah-olah rongga diri yang berisi noda, dosa dan kelemahan diri sebagai manusia, ditumpahkan di atas sajadah sampai tetes terakhir, lalu bangkit di antara dua sujud kemudian sang hamba merasa diisi dengan air suci yang akan membilas keseluruhan rongga dirinya.

Selanjutnya, ditumpahkan sekali lagi, sampai betul-betul bejana dalam bentuk rongga ini bersih sebersih-bersihnya, lalu bangkit dari sujud untuk siap diisi kembali dengan cahaya kesucian.

Apabila posisi sujud telah sempurna, maka bacalah tasbih atau doa sujud. Kita dapat memilih salah satu dari tiga macam doa ketika sujud, yaitu:
سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ رَبَّنَا وَبِحَمْدِكَ اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِي.
Subhaanaka allaahumma rabbanaa wa bihamdika allaahummagh-firlii.
Artinya:
“Maha Suci Engkau, ya Allah dan dengan memuji Engkau, ya Allah, aku memohon ampunan.”
Atau membaca:
سُبْحَانَ رَبِّيَ اْلأَعْلَى وَ بِـحَمْدِهِ .
Subhaana rabbiyal-a’la wa bihamdih. (dibaca 3 kali)
Artinya:
“Maha Suci Tuhanku yang Maha Agung dan segala puji bagi-Nya.”
Atau bisa juga membaca:
سُبُّوحٌ قُدُّوسٌ رَبُّ الْمَلَائِكَةِ وَالرُّوحِ.
Subbuuhun qudduusun rabbul malaaikati war-ruuh.
Artinya:
”Maha Suci, Maha Kudus, Tuhannya sekalian malaikat dan Ruh (Jibril).”

Bacaan apapun yang dipilih ketika sujud, sama-sama merefleksikan pengagungan yang setinggi-tingginya terhadap Allah yang Maha Suci. Puji dan sanjung hanyalah kepada Allah, Tuhan yang tiada satu pun yang dapat menandinginya. Bacaan sujud itu yang bukan saja lisan yang bergerak, melainkan juga pengakuan yang meresapi hakikat pengagungan, di mana tidak ada lagi yang bertahta di hati kita kecuali Allah semata.

Bersujud itu termasuk amalan hati, sebab hati yang teramat sombong lagi ingkar, tidak akan mampu menggerakkan anggota tubuh untuk bersujud. Itulah petikan pelajaran dari kisah pembangkangan iblis terhadap perintah Tuhan. Dan hakikat sujud itu pula yang membedakan antara insan beriman dengan iblis, setan dan yang sejenis dengannya, yaitu perkara penolakan untuk bersujud.

 

 




Hubbu Syahwat

Sebelumnya

Bukankah Aku Ini Tuhanmu?

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Baca Juga

Artikel Tadabbur