Sajadah itu terhampar hingga akhir hayat, dan terus memberikan kesyahduan bagi mereka yang meresapinya/ Net
Sajadah itu terhampar hingga akhir hayat, dan terus memberikan kesyahduan bagi mereka yang meresapinya/ Net
KOMENTAR

ALANGKAH indahnya sebuah rumah, yang apabila di dalamnya terdapat musala atau atau surau, kendati itu hanyalah ruangan kecil. Setidaknya rumah kita memiliki ruangan khusus untuk bermunajat ke haribaan Ilahi.

Sekiranya belum memungkinkan adanya musala di rumah, tidaklah perlu berkecil hati. Setidaknya pula di rumah tercinta kita masih dapat menghamparkan sajadah, yang merupakan ‘kavling kecil surga’.

Sajadah berasal dari kata sujud, satu sikap kepasrahan terhadap keagungan Tuhan. Sesungguhnya bersimpuh di sajadah bukanlah kejadian biasa, terlebih bagi mereka yang mampu meresapi romantikanya dengan sepenuh cinta. Sebentuk kepasrahan saat di sajadah itu dapat mengantarkan kita kepada pengalaman spiritual; karena ada ketenangan, kesejukan, dan kebahagiaan yang tak tertandingi.

Ada yang unik!

Seorang gadis punya kebiasaan menarik. Setiap kali selesai shalat, setelah berzikir dan berdoa, dia tidak langsung beranjak pergi. Terlebih dahulu gadis itu bersujud, dengan durasi cukup lama di sajadahnya.

Efeknya dahsyat, bersama sujud panjang itu berbagai masalah yang membebani kepalanya pun luruh. Beban batin itu lenyap dalam keajaiban sajadahnya. Dan memang yang dimilikinya hanyalah sajadah sederhana, tetapi terasa baginya umpama surga. Bagaimana tak terasa surgawi, sebab di sajadah itulah berbagai kemelut duniawi terselesaikan bahkan ketenangan pun diperolehnya.

Ketika bersujud di sajadah itulah darah mengalir deras ke arah kepala, sehingga otak mendapatkan pasokan energi yang mencukupi, lalu otak dapat menyusun ulang file-filenya hingga mampu menyelesaikan benang kusut persoalan kehidupan.  

Magisnya sajadah juga pernah disenandungkan dengan syahdu oleh Bimbo:
Ada sajadah panjang terbentang
hamba tunduk dan rukuk
hamba sujud dan lepas kering hamba
mengingat Dikau sepenuhnya...

Nasaruddin Umar dalam buku Shalat Sufistik menyebutkan, sajadah lebih khusus dalam bahasa Indonesia diartikan dengan selembar kain tempat sujud. Namun, dalam perspektif tasawuf, sajadah bisa diartikan sebagai “kavling kecil surga” yang didatangkan untuk menjemput kekasih-Nya.

Lebih jelas Nasaruddin Umar menegaskan, sajadah adalah tempat melebur dosa. Sajadah adalah kotak ajaib yang mampu mengangkat seorang hamba dari kubangan lumpur dosa. Sajadah mampu mengurai seluruh problem, dari problem paling kecil sampai problem paling besar.

Ringkasnya begini, ketika kepala mulai terasa error memikul kusutnya masalah kehidupan ini, maka bersegeralah cari sajadah, lalu bersujudlah! Kemudian biarkanlah kepala dan hati kita mencapai ketenangannya, hingga berhasil mendapatkan cahaya hidayahnya.

Faidh Kasyani pada bukunya Etika Islam Menuju Evolusi Diri membuka cara pandang yang menarik, bahwa sujud merupakan puncak tertinggi dari tingkatan kebutuhan. Letakkanlah paling mulianya anggotamu, yaitu wajah di atas sesuatu yang paling hina, tanah. Jika engkau meletakkan jiwamu pada tempat yang terhina, maka ketahuilah engkau telah meletakkannya pada tempatnya dan engkau telah mengembalikan cabang pada intinya. Sesungguhnya engkau diciptakan dari tanah dan akan dikembalikan pada tanah juga.

Lantas, bagaimana caranya menggali keajaiban spiritual di hamparan sajadah itu?

Lebih lanjut Faidh Kasyani mengungkapkan, saat bersujud, perbaharukanlah pada hatimu kebesaran Allah dan katakanlah, “Mahasuci Tuhanku yang Mahatinggi (subhana rabbi al-a'la wa bihamdihi).”

Tegaskanlah ucapan itu berkali-kali karena ucapan yang diucapkan satu kali lemah dampaknya. Jika hati telah lembut dan akalmu telah jernih, maka buktikan harapanmu pada rahmat Tuhanmu.

Balik lagi kepada paragraf pembuka dari tulisan ini, setidaknya ada hamparan sajadah di rumah tangga yang kita bina. Ketika suami, istri, anak-anak dan anggota keluarga sama-sama kompak bersujud di sajadah, sama-sama meresapai kesyahduan sajadah, insyaallah akan berdampak positif bagi penyelesaian problema keluarga.

Karena, saat di atas sajadah semua anggota keluarga berada dalam titik kesadaran tertingginya terhadap Tuhan. Sehingga ego-ego pribadi pun berguguran. Dan itulah saat keemasan dalam memperbincangkan dan menyelesaikan berbagai persoalan.

Perbincangan akan berlangsung dalam aura nan sejuk. Persoalan malah terasa ringan, karena kepala tidaklah panas. Dan solusinya pun begitu terang-benderang kelihatannya.

Begitulah sajadah bekerja dengan keindahannya, dalam sujud yang justru meninggikan nilai batin hamba-Nya. Sajadah itu terhampar hingga akhir hayat, dan terus memberikan kesyahduan bagi mereka yang meresapinya. Jadi, selesaikanlah di atas sajadah!
 




Menyambungkan Jiwa dengan Al-Qur’an

Sebelumnya

Sempurnakan Salatmu Agar Terhindar dari Perbuatan Keji dan Mungkar

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Artikel Tadabbur