Sampai kapanpun, insyallah, rindu akan tetap menjadi ujian bagi para pecinta/ Net
Sampai kapanpun, insyallah, rindu akan tetap menjadi ujian bagi para pecinta/ Net
KOMENTAR

Seorang pria ubanan menyayangkan nasib generasi milenial, “Mereka tidak tahu lagi nikmatnya rindu.”

Dahulu kala, ketika dirinya masih muda belia, jatuh cinta itu benar-benar berjuta rasa, dan rindu itu benar-benar berat. Hanya sepucuk surat sebagai pelepas rindu, itu pun berkabar melalui proses berbulan-bulan menunggu balasannya.

Pak pos menjadi sosok yang lebih dinantikan dibanding tukang jual sembako. Dan di masa surat menyurat sedang di era keemasannya pula lahir banyak pujangga muda. Begitu jatuh cinta, tiba-tiba anak-anak muda itu menjelma menjadi pujangga, kata-katanya indah, mendayu-dayu ke lubuk kalbu.

Kini generasi milenial dimanjakan oleh teknologi informasi yang mana perkabaran itu bukan lagi melalui sepucuk surat, melainkan ponsel pintar dengan koneksi cepat dalam tempo sepersekian detik langsung tersampailah pesan atau tersambung suara bahkan bisa tampak muka dengan video call dan berbagai fasilitas komunikasi canggih lainnya. “Bagaimana mereka akan tahu artinya rindu?” ucap pak uban sambil melirik istrinya yang diam membeku.

Benarkah generasi milenial ini tidak lagi mengenal rindu? Ah, tidak juga. Buktinya Dilan berkata kepada Milea, “Jangan rindu, berat. Kamu nggak akan kuat. Biar aku saja!”

Betulkah kecanggihan teknologi dapat menghapus rindu? Ah, bukan begitu juga. Teknologi dapat melipat jarak, tetapi tak mungkin menghapus gelora perasaan. Bukankah perpisahan sedetik saja bagi pasangan kekasih bagaikan ujian hidup yang amat menyiksa.

Teknologi dapat membuat kita berbicara jarak jauh sambil melihat muka kekasih, tetapi pertemuan tatap muka jauh lebih mengesankan bagi mengobati rindu. Sampai kapanpun, insyallah, rindu akan tetap menjadi ujian bagi para pecinta.

Dengan demikian, rindu bukan masalah jauh atau dekatnya jarak, melainkan tentang perjalanan hati, sampai sejauh mana rindu mengembara di hati. Makanya ulama yang juga pakar cinta, Ibnul Qayyim al-Jauziyyah menyebutkan pada bukunya Raudhatul Muhibbin bahwa kata syauq  (rindu) berarti perjalanan hati menuju orang yang dicintai.

Seorang pendakwah ditanya, apakah dirinya tidak berat meninggalkan keluarga pergi beberapa hari dan terkadang berminggu-minggu. Dia mengakui amatlah berat. Tetapi, dengan perpisahan singkat saja rindu itu menggebu-gebu, rasa cinta berlipat ganda, dan alih-alih melirik yang lain, di benaknya hanya terbayang istri seorang.

Imam al-Qusyairi menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan syauq di sini adalah getaran hati karena rasa rindu terhadap yang dicintai. Besarnya kadar syauq ini tergantung kepada seberapa rasa mahabbah (cinta), karena syauq adalah buah dari mahabbah.

Pokoknya, makin berat rindu pertanda makin besar cinta. Jadi, sang pendakwah mestinya bersyukur kala hatinya dirundung rindu, itu pertanda cintanya pada sang istri masih menggebu.

Ternyata rindu itu ada juga gunanya, karena mengajari kita cara meningkatkan kualitas cinta. Sesekali suami istri memang perlu berpisah tapi bukannya bercerai, sebagaimana orang Minangkabau menyebutnya dengan istilah, bapisah bukannyo bacarai.

Namun jika tidak ingin disiksa rindu, maka tirulah Nabi Muhammad. Kemana pun beliau pergi berperang, selalu saja ada istri yang dibawanya, tentunya melalui undian. Ingat, pergi berperang bawa istri lho, bukannya pergi piknik. Dengan demikian, rindu itu masih bisa terlerai, kan ada istri yang mendampingi.

Rindu yang berat itu ketika kedua insan telah berbeda alam. Sebagaimana Nabi Muhammad merindukan Khadijah, istri yang tulang belulangnya telah hancur dikandung tanah, tetapi namanya tetap bersemi di hati lelaki mulia, dan tersebut-sebut di lisannya.

Tetapi rindu jangan sampai jadi dendam. Capek-capek memendam rindu, begitu bertemu dia datang hanya mengantarkan permusuhan. Sakitnya tuh bukan di sini, tapi di sana-sini. Berbagai kasus rindu yang terhempas dapat mengantarkan orang pada trauma yang berkepanjangan. Dari itulah manajemen rindu amat diperlukan.

Kepada siapa rindu tertinggi kita arahkan? Apakah rindu ini akan bernilai pahala? Dapatkah rindu mengantar ke gerbang surga? Bagaimana caranya agar rindu bukan menjadi siksa? Dan rindu macam apa yang perlu diperjuangkan? Marik simak penjelasan berikut ini:

Dalam Ensiklopedia Tasawuf Imam Al-Ghazali diterangkan bahwa ada tiga derajat syauq (kerinduan), yaitu sebagai berikut: pertama, kerinduan ahli ibadah kepada surga, agar yang takut merasa aman, yang sedih merasa gembira dan yang berharap merasa beruntung.

Kedua, kerinduan kepada Allah Swt. Kerinduan ini ditanam oleh cinta yang tumbuh di atas hamparan anugerah. Hati bergantung kepada sifat-sifat-Nya yang suci lalu rindu untuk melihat kelembutan dan kemurahan-Nya, tanda-tanda kebaikan dan karunia-Nya. Kerinduan kepada Allah sama sekali tidak menghilangkan kerinduan kepada surga, karena kenikmatan yang paling baik adalah kedekatan dengan Allah.

Ketiga, kerinduan berupa api yang dinyalakan kesucian cinta, yang digerakkan hidup, yang disambar kebebasan derita cinta, dan yang tidak bisa dihentikan kecuali bertemu dengan sang kekasih.

Rindu itu disamakan dengan api, karena rindu itu berkobar-kobar dan membakar apa saja. Jangan sampai kita terbakar rindu lalu hangus binasa dan ujungnya hanya tertimpa kerinduan yang hampa makna.

Ada tiga derajat rindu yang dapat kita pilih dan miliki, silahkan ditimang-timang!   

Akhirnya mari kita renungkan, Sary As-Saqathi berkata, “Rindu adalah kedudukan yang mulia bagi orang-orang yang memiliki makrifat. Jika dia dapat mewujudkan kerinduan itu, perhatiannya hanya tertuju kepada siapa yang ia rindukan.

Oleh karena itu, para penghuni surga senantiasa merindukan Allah Swt. sekalipun mereka dekat dan dapat melihat-Nya.”

 




Hubbu Syahwat

Sebelumnya

Bukankah Aku Ini Tuhanmu?

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Artikel Tadabbur