SETIAP bulan Mei, dunia memperingati Mental Health Awareness Month—sebuah momen penting untuk mengingatkan kita bahwa kesehatan mental sama berharganya dengan kesehatan fisik.
Tapi lebih dari sekadar kampanye tahunan, Mei adalah ajakan lembut untuk kita semua, terutama perempuan, agar berani peduli dan jujur pada apa yang benar-benar kita rasakan.
Di tengah tuntutan sebagai ibu, istri, pekerja, pemimpin, atau bahkan mahasiswa, perempuan sering kali memikul beban ganda. Kita terbiasa tersenyum saat lelah, menenangkan orang lain saat diri sendiri sedang guncang. Padahal, di balik wajah tangguh itu, ada jiwa yang juga butuh dipeluk.
Kesehatan mental bukan soal lemah atau kuat. Bukan pula soal “drama” atau sekadar suasana hati. Ia menyangkut bagaimana kita menjalani hidup, merespons tekanan, dan menjaga relasi dengan diri sendiri maupun orang lain.
Di tempat kerja, tekanan bisa datang dari ekspektasi tinggi, beban berlebih, atau lingkungan yang tidak suportif. Di rumah, tuntutan peran bisa membuat perempuan merasa tak punya ruang untuk lelah. Tapi justru karena semua itu, kita perlu jeda—untuk napas, untuk bercerita, dan untuk memulihkan diri.
Menjaga kesehatan mental bukan berarti menghindari tanggung jawab. Tapi soal mengatur ritme, mengenali batas, dan mencintai diri sendiri tanpa rasa bersalah. Bisa dimulai dari hal kecil: tidur cukup, bicara dengan teman, journaling, atau sekadar bilang “tidak” saat kita memang butuh waktu sendiri.
Bulan Mei ini, mari kita dengarkan tubuh dan pikiran kita lebih dalam. Mari saling rangkul, saling jaga, dan saling peka. Karena dunia akan jauh lebih kuat jika semua perempuan di dalamnya merasa utuh—secara fisik, emosional, dan mental.
KOMENTAR ANDA