Donald Trump menyapa pendukungnya setelah dinyatakan positif Covid-19/ Foto: Tom Brenner/ Reuters)
Donald Trump menyapa pendukungnya setelah dinyatakan positif Covid-19/ Foto: Tom Brenner/ Reuters)
KOMENTAR

SEBANYAK 50% perempuan kulit putih di Pennsylvania memilih Donald Trump hingga ia memenangkan negara bagian itu pada pemilu 2016. Namun, mayoritas para perempuan tersebut kini menyesali pilihan mereka dan berbalik mendukung Joe Biden.

Mereka menggambarkan Donald Trump sebagai sosok pembully yang tidak memiliki empati, puncaknya adalah setelah kegagalannya menyiapkan rakyat Amerika menghadapi Covid-19.

Di antara perempuan Pennsylvania tersebut, Hollie Geitner (45), Joan Smeltzer (55), Julie Brady (51), dan Nin Bell (47) mulai berani menyuarakan penyesalan mereka ke publik.

"Saya salah tentang dia (Trump). Dan itu sangat menyakitkan hati saya. Saya merasa ditipu," ujar Joan.

Lain Joan, lain Julie. Perempuan itu mengaku sebenarnya belum siap untuk mengatakan bahwa ia tak akan memilih Trump lagi. "Suami saya dan seluruh keluarga besarnya adalah pendukung Trump. Saya saat ini adalah minoritas," ujar Julie.

Keempat perempuan yang diwawancarai CNN tersebut mengaku menyesal dengan pilihan mereka empat tahun lalu. Apalagi kalau bukan karena menutup mata akan tudingan diskriminasi dan kejahatan seksual terhadap perempuan, serta October Surprise yang mencuat di masa kampanye 2016.

Saat itu, beredar video rekaman Access Hollywood yang diunggah The Washington Post berisi pembicaraan tidak senonoh Donald Trump dan Billy Bush di tahun 2005.

Obrolan mesum seputar tubuh perempuan itu tak ayal menggemparkan dunia politik Amerika. Banyak politisi dan tokoh publik mengecam perbuatan Trump yang dianggap sebagai bentuk pelecehan seksual bahkan penyerangan seksual.

"Saya melihat diri saya dan berpikir, bagaimana mungkin saya dulu melakukan itu (memilih Trump)?" sesal Joan.

"Saya merasa telah merugikan kaum perempuan dengan memilih orang itu," tambah Julie.

"Saya benar-benar mengacuhkan rumor itu seperti yang dilakukan perempuan lain yang memilihnya. Kami mengacuhkannya. Kami terus mengatakan itu hanyalah gosip, hanya kabar burung," ujar Nin.

Sementara itu, Hollie mengaku bahwa alasannya memilih Trump tahun 2016 adalah karena faktor ekonomi. Hollie mengaku sebenarnya tidak terlalu menyukai Trump yang menurutnya bukan sosok yang mudah disukai.

"Tapi dulu saya berpikir kalau ekonomi kuat, kondisi itu akan membahagiakan semua orang dan baik untuk ketersediaan lapangan kerja. Saat itu Trump terlihat sangat menguasai bidang itu," sesal Hollie.

Menurut Hollie, kondisi yang dihadapi Amerika saat ini sangat jauh dari cita-cita "Great Again" yang menjadi slogan Trump empat tahun silam.

Hal besar yang menambah 'kemurkaan' perempuan yang menetap di kota Pittsburgh ini adalah pandemi Covid-19 dan pembunuhan George Floyd oleh petugas kepolisian. "Dua hal tersebut menyadarkan saya bahwa ini semua salah. I'm not OK with this."

Kasus George Floyd membuat Hollie terhenyak. Hollie tahu bagaimana Floyd memohon demi ibunya. Dan sebagai ibu, itu sangat menghancurkan hatinya. Hollie tahu betapa selama ini ia merasakan white privilege, dan ia tahu betapa banyak perempuan kulit hitam (para ibu) yang harus membicarakan hal-hal yang tidak akan pernah ia bicarakan kepada anak-anaknya.

"Melihat apa yang terjadi sejak itu, saya merasa Trump justru menambahkan 'bahan bakar' untuk membakar api kebencian. Itulah yang sangat mengganggu saya."

Kematian George Floyd dan gelombang protes raksasa di seluruh negeri juga membuat Nin Bell, asal Parkside, berpaling. Tahun 2016, ia adalah pendukung Demokrat yang rela berpindah partai hanya untuk memilih Trump.

Kini, ia berpartisipasi dalam aksi unjuk rasa mingguan Black Lives Matter di kotanya. Setiap Sabtu, Nin mengenakan kaus BLM, membawa poster bertulis LOVE, memakai masker, lalu bergabung dengan rekan-rekannya. Selamat tinggal Trump, itulah yang disuarakan Nin.

Namun sama dengan banyak perempuan Pennsylvania lain, pandemi Covid-19 menjadi sebuah breaking point.

Mereka menyaksikan cara Trump menangani pandemi dan itulah yang menjadi puncak kekesalan mereka. Salah satunya, bagaimana harus kehilangan pekerjaan yang sudah dijalani selama satu dekade.

Bagi mereka, Trump memang tidak menciptakan virus corona, tapi dia menyakiti banyak orang dengan tidak melakukan hal-hal yang seharusnya dia lakukan ketika mengetahui virus itu sejak awal.

"Dia seperti membiarkan rakyat berada dalam kegelapan sambil menerka-nerka apa yang terjadi. Dan itu sangat tidak adil bagi kami," tegas Julie.

Keempat perempuan tersebut bisa jadi mewakili banyak perempuan yang berbalik mendukung Joe Biden. Polling akhir September memperlihatkan Biden memimpin 23% lebih banyak suara perempuan Pennsylvania.




Tak Lagi Berstatus Ibu Kota, Jakarta Siap Melesat Jadi Pusat Perdagangan Dunia

Sebelumnya

BMKG: Hujan Intensitas Ringan Hingga Lebat Berpotensi Guyur Sebagian Besar Wilayah di Indonesia Sepanjang Hari

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Baca Juga

Artikel News