SUAMI mengeluh (lebih tepatnya menyindir) betapa beratnya godaan iman yang harus dihadapinya. Setiap hari dirinya, di kantor, menatap perempuan dengan make up cemerlang dan mencium aroma nan sedap.
Bagaimana kondisi yang dihadapinya tatkala pulang ke rumah? Ya, ampun! Dari jarak jauh saja aroma dapur begitu melekat di tubuh istrinya, belum lagi wajah yang tak tersentuh riasan apapun sedari pagi. Bukankah agama menyuruh para istri bersolek di dalam rumah, bukannya ketika bepergian saja?
Istri pun tak kalah dramatis keluhannya mengenai beratnya godaan. Betapa dirinya minder mengikuti arisan, reuni alumni atau bahkan sekadar keluar rumah. Karena teman-teman, apalagi tetangga, dengan mudah menebak pakaiannya yang itu-itu saja. Make up yang dipakainya hanyalah bedak murah, itu pun dibeli di warung sebelah rumah. Kalah jauh dengan make up rekan-rekannya yang sanggup menandingi kosmetika artis sinetron pendatang baru.
Bagaimana dengan perhiasan? Ah, satu per satu perhiasan yang dikenakannya menghilang atau sengaja dihilangkan demi biaya sakit, biaya pendidikan, biaya ini dan itu. Bahkan hampir saja cincin kawin juga digadaikan. Sang istri merasa terguncang dengan godaan itu yang kini terasa menjadi tekanan. Intinya, cantik itu memang butuh modal.
Tentu saja kejadian di atas telah mengalami eufemisme atau penghalusan yang luar biasa (agar tidak merusak suasana hati sidang pembaca). Faktanya, suami istri itu bertengkar di atas mobil, yang membuat rombongan merasa tidak nyaman. Apalagi rombongan itu sesungguhnya tengah berbahagia mengantar putri sulungnya berkuliah ke luar negeri.
Dan akan menjadi lebih menarik tatkala agama Islam juga membahas dengan cantik perihal istri yang berhias atau berdandan ini. Jadi, sebelum meletus pergesekan atau pertengkaran di antara suami istri, para ulama fikih terlebih dulu sudah khatam mengkajinya.
Syaikh Abdurrahman Al-Juzairi menguraikan pada buku Fikih Empat Madzhab Jilid 5, bahwa suami harus menanggung biaya kebersihan istri, seperti sabun, minyak rambut, sisir dan lainnya. Bila suami ingin istrinya berhias, suami harus memberinya perhiasan untuk dikenakan istri. Seperti itu juga bila suami tidak senang pada sesuatu dari diri istrinya, misalnya kulit wajah bernoda dan semacamnya, suami wajib memberinya obat untuk menghilangkannya.
Bersama perjalanan waktu, apapun di dunia ini akan mengalami degradasi; yang cemerlang jadi pudar, yang ramping jadi melar, yang baru jadi usang dan lainnya. Kalau tidak siap menerima perubahan yang demikian menyedihkan, maka jelas sekali dibutuhkan perawatan, dan jangan bersikap pura-pura tidak tahu kalau perawatan itu butuh biaya yang tidak murah.
Suami tidak bisa berprinsip asal terima beres saja, pokoknya istri cantik dan semerbak, dan kalau perlu awet muda. Segalanya butuh proses dan upaya yang bukan main sungguh-sungguhnya. Dari itu pula, Nabi Muhammad mempunya perhatian yang jeli terhadap perawatan diri istri-istrinya.
Salah satunya yang diceritakan oleh Muhammad Bagir pada buku Fiqih Praktis II, bahwa seorang perempuan bernama Karimah binti Hammam pernah bertanya kepada Aisyah (istri Nabi), “Apa pendapat Anda wahai Ummul Mukminin tentang hinna (pemerah kuku)?”
Aisyah menjawab, “Sungguh, kekasihku (yakni Nabi) mengagumi warnanya, meski tidak menyukai baunya. Karena itu, gunakanlah pada masa menstruasi kalian!”
Ngomong-ngomong, kapan ya terakhir kali istri kita mengenakan pewarna kuku? (Ah, jangan-jangan satu kali pun tidak pernah sepanjang hayatnya).
Begitu detail perhatian Rasulullah terhadap perawatan diri istri dalam berhias, sehingga beliau mengetahui penggunaan atau manfaat suatu jenis kosmetika. Meski pun kurang menyukai aromanya, beliau mendukung istri menggunakan hinna sebagai pemerah kuku disebabkan warnanya yang menarik. Bahkan beliau pun merekomendasikan penggunaan hinna di masa-masa haid.
Begitu seriusnya pembahasan tentang istri berhias dalam fikih Islam tidak terlepas dari besarnya hikmah yang terpendam padanya. Bukan sekadar mempercantik atau memperindah diri, sesungguhnya ada misi mulia yang terkandung dalam tuntunan bersolek.
Di antaranya ditegaskan oleh Muhammad Bagir, bahwa dalam hal berhias ini, hendaklah semata-mata ditujukan demi menyenangkan hati sang suami bersama anak-anak di rumah mereka sendiri, bukan untuk ber-tabarruj (mempertontonkan kecantikan wajah atau keelokan tubuh secara mencolok) di luar rumah ataupun di depan laki-laki yang bukan mahram.
Dan hendaklah diperhatikan pula agar kosmetik yang digunakan terbuat dari bahan halal dan tidak menghalangi sampainya air ke permukaan kulit ketika berwudu atau mandi wajib.
Demikian pula suami di hadapan istri dan anak-anaknya, hendaklah membiasakan diri berpakaian rapi serta menjaga kebersihan tubuhnya, sedemikian sehingga menyenangkan hati istrinya dan menjaganya dari ketertarikan kepada para lelaki selainnya.
Agar pembahasan ini seimbang, maka sebagai penutup, baiknya kita renungkan perkataan Abdullah bin Abbas yang fenomenal, “Aku biasa berhias untuk istriku, sebagaimana dia berhias untukku. Karena aku tidak ingin mengambil semua hakku terhadapnya sementara ia tidak memperoleh haknya dariku.”
KOMENTAR ANDA