Apabila pasangan itu merasa cukup dengan karunia Allah, maka pada hakikatnya mereka telah tergolong kaya. Sejatinya, kaya itu bukan diukur dari jumlah harta, melainkan kondisi psikologis/ Net
Apabila pasangan itu merasa cukup dengan karunia Allah, maka pada hakikatnya mereka telah tergolong kaya. Sejatinya, kaya itu bukan diukur dari jumlah harta, melainkan kondisi psikologis/ Net
KOMENTAR

DI sebuah seminar, pria berkacamata bertanya, “Saya sudah menikah, kok belum kaya juga?”

Narasumber balik bertanya, “Berapa lama menikahnya?”

Pria muda itu malu-malu berkata, “Tiga bulan.”

Narasumber tersenyum menimpali, “Kok, baru nikah langsung minta kaya.”

Segalanya butuh proses, semuanya melalui usaha dan lebih perlu lagi karunia Ilahi. Kalau cukup bermodalkan ijab kabul bisa mendadak kaya, maka orang tinggal kawin lagi kawin lagi saja kerjanya, nanti toh hartanya berlimpah. Nyatanya, menjadi tukang kawin justru membuat hartanya terkuras, habis untuk melunasi biaya ini atau menalangi urusan itu.

Tetapi, bukankah Al-Qur’an menegaskan motivasi menikah, bahkan orang miskin akan dijadikan kaya oleh Tuhan. Tidak mungkin dong janji Allah palsu? Pangkal mula silang pendapat itu terkait pemahaman terhadap surat An-Nur ayat 32, yang artinya, “Dan nikahkanlah orang-orang yang masih membujang di antara kamu, dan juga orang-orang yang layak (menikah) dari hamba-hamba sahayamu yang laki-laki dan perempuan. Jika mereka miskin, Allah akan memberi kemampuan kepada mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah Mahaluas (pemberian-Nya), Maha Mengetahui.”  

Kata yughni-himullah (Allah akan memberi kemampuan kepada mereka) inilah yang dipahami orang sebagai janji Tuhan bahwa yang menikah akan kaya. Lagi pula, yughni itu maknanya adalah merasa cukup, dan orang kaya dalam bahasa Arab disebut ghaniy (orang yang merasa berkecukupan).

Dalam Tafsir Ibnu Katsir disebutkan, telah diriwayatkan dari Ibnu Mas'ud, bahwa ia pernah mengatakan, “Carilah kecukupan dalam nikah, karena Allah Swt. telah berfirman, 'Jika mereka miskin, Allah akan memampukan mereka dengan karunia-Nya'" (An-Nur ayat 32).”

Jadi, apabila pasangan itu merasa cukup dengan karunia Allah, maka pada hakikatnya mereka telah tergolong kaya. Sejatinya, kaya itu bukan diukur dari jumlah harta, melainkan kondisi psikologis.

Putri Rasulullah, Fatimah dinikahi oleh Ali bin Abi Thalib. Dalam rumah tangganya Fatimah bekerja keras menggiling gandum, mengangkut air, membelah kayu dan lain-lain. Ali bin Abi Thalib tak ketinggalan turut bekerja di dapur bersama istrinya. Menu langganan mereka adalah roti yang keras.

Apabila malam yang dingin menjelang, pengantin ini mengenakan selimut yang tidak menutupi tubuh bagian atas, tapi kalau ditarik ke atas giliran kaki yang menggigil. Namun, dua insan ini tetap merasa cukup dengan karunia dari Allah, secara psikologis mereka sudah kaya raya.

Usman bin Affan yang juga menikahi putri Rasulullah lainnya memang seorang konglomerat. Dia seperti punya tangan emas, apa saja yang dibisniskannya akan meraup laba besar. Usman bersama istri bukan hanya kaya secara materi, tetapi lebih kaya lagi secara batiniah, sebagai kekayaan hakiki.

Harta tidak pernah menjadi standar Usman tentang kriteria kaya. Makanya, dia santai saja menyumbangkan seluruh keuntungan dagang dari luar negeri ketika kaum muslimin dilanda masa paceklik.

Setelah membahas orang kaya, perlu dipahami juga kriteria miskin. Penyakit orang miskin itu ialah tidak pernah merasa cukup dan selalu merasa kurang. Siapapun yang terjangkiti penyakit ini, pada hakikatnya dia terperosok di jurang kemiskinan.

Seorang pria punya perusahaan keren, mobil mahal, rumah mewah, sehingga dia disanjung oleh rekan-rekannya sebagai orang kaya. Tetapi pria itu tersenyum kecut, “Kaya dari mana?”

Maka orang-orang pun menyebutkan daftar harta benda yang dimilikinya. Pria itu memotong, “Iya, harta saya sepuluh milyar rupiah, tapi hutang saya dua puluh milyar!”

Pasalnya, dia punya istri yang bermata lapar, pantang kalah kalau sudah berhubungan dengan gengsi. Tetangga beli sofa di Italia, dia minta sofa yang bukan hanya lebih mahal, tapi tempat membelinya harus lebih jauh dari Italia.

Uniknya, karyawan dari pria itu justru merasa berkecukupan. Istrinya bukan hanya pandai menata keuangan tetapi mampu menyisihkan penghasilan suami demi investasi reksadana, emas, obligasi, dan lainnya.

Sedikit demi sedikit tabungan investasi terus dikumpulkan sehingga kekayaannya berkembang pesat. Dan yang penting, keluarganya bebas hutang. Dan yang jauh lebih panting, dia amat beruntung memiliki istri yang pandai bersyukur, tidak pernah merasa berkekurangan.

Sayyid Quthb pada kitab Tafsir Fi Zhilalil Qur`an mengingatkan kefakiran tidak boleh menjadi penghalang orang-orang dari menikah, selama mereka pantas untuk menikah dan menginginkannya. Rezeki itu berada di tangan Allah. Allah telah menjamin kekayaan bagi mereka, bila mereka memilih cara yang terhormat dan suci.

Dengan adanya jaminan Allah itu, apakah terbuka peluang orang yang menikah memiliki kekayaan berlimpah ruah?

Tentu saja kesempatan kaya itu terbuka sangat lebar. Di antara faktor pendorongnya adalah keluarga menjadi pembangkit semangat dan mengobarkan etos kerja. Energinya seperti tidak ada habis-habisnya, bagaikan orang yang tidak pernah capek, karena saat berusaha di benaknya terbayang anak istri tercinta.

Cobalah cek faktanya, bukankah dengan pernikahan orang-orang berpikir untuk memiliki rumah sendiri, mempunyai kendaraan pribadi, menabung atau berinvestasi demi masa depan cemerlang. Dan bukankah lambat laun pernikahan itu dibarengi dengan terus membaiknya perekonomian dan menjadikannya kaya raya?

Bagi yang telah menikah beberapa tahun, cobalah jujur memeriksa perekonomian teman-temannya yang telah menikah sama seperti dirinya! Secara umum, jika tidak terjadi hal-hal di luar kendali, rata-rata mereka telah menanjak kesejahteraan perekonomiannya.




Para Suami Ingatlah, Kunci Rezeki Ada pada Banyak Memberi dan Bersyukurnya Istri

Sebelumnya

Abdul Mu’ti: Tiga Hikmah dari Hijrah Nabi dalam Membangun Peradaban Islam

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Artikel Tadabbur