EMPAT produsen beras diperiksa Satuan Tugas Pangan Polri (10/7) terkait dugaan pelanggaran kualitas dan takaran. Pemeriksaan tersebut dilakukan setelah tim penyidik mengambil sampel beras premium dari berbagai daerah.
Dikutip dari Tribratanews Polri, empat produsen yang diperiksa adalah sebagai berikut:
- PT Food Station Tjipinang Jaya (merek produk Alfamidi Setra Pulen, Beras Pulen Wangi, Beras Premium Setra Ramos, Ramos Premium, Setra Ramos, dan Setra Pulen)
- Wilmar Group (merek produk Fortune dan Sovia)
- PT Belitang Panen Raya (merek produk Raja Platinum dan Raja Ultima)
- PT Sentosa Utama Lestari (merek produk Ayana)
Sebelumnya pada akhir Juni, Menteri Pertanian Amran Sulaiman telah melapor ke Polri dan Kejaksaan Agung terkait 212 merek beras yang melakukan kecurangan. Dikutip dari ANTARA, dari 268 merek beras yang diperiksa, 212 di antaranya tidak sesuai standar mutu, volume, dan harga eceran tertinggi (HET) yang ditetapkan pemerintah.
Kasus beras oplosan yang baru-baru ini terbongkar tentu menyisakan keprihatinan mendalam. Betapa tidak, praktik curang ini dilakukan oleh produsen beras premium—nama yang selama ini dipercaya dan dikonsumsi oleh jutaan keluarga Indonesia setiap harinya. Ironisnya, produk yang mestinya menjadi lambang kualitas justru berubah menjadi simbol pengkhianatan.
Ini bukan sekadar soal bisnis. Ini tentang beras, makanan pokok masyarakat Indonesia. Barang yang hadir di setiap piring makan, dari meja sederhana di desa hingga meja makan rumah urban. Ketika ada pihak yang dengan sadar mencampur beras berkualitas rendah dan memasarkannya sebagai premium, sesungguhnya mereka tidak hanya menipu konsumen—mereka menipu keluarga mereka sendiri, tetangga mereka, bahkan bangsa mereka.
Modus oplosan ini bukan hanya bentuk kecurangan ekonomi, tetapi juga tamparan keras terhadap nurani. Apa jadinya ketika makanan pokok pun sudah tidak bisa dipercaya kualitasnya? Praktik semacam ini menunjukkan bahwa kerakusan sebagian pelaku usaha telah melampaui batas moral. Demi margin laba yang lebih besar, mereka rela menjual ilusi, bukan beras.
Terbongkarnya kasus ini sekaligus memperlihatkan lemahnya pengawasan dan ketidakpastian regulasi terkait standar kualitas beras di pasar. Bukankah sudah saatnya negara hadir lebih tegas untuk melindungi hak konsumen akan pangan yang aman dan berkualitas?
Kasus ini menjadi alarm keras bagi pemerintah dan aparat terkait untuk memperketat pengawasan serta memastikan bahwa seluruh rantai distribusi pangan bebas dari praktik manipulatif. Karena jika beras saja bisa dicurangi tanpa ketahuan bertahun-tahun, bagaimana nasib keamanan pangan kita ke depan?
KOMENTAR ANDA