Festival Pacu Jalur (Kemenpar)
Festival Pacu Jalur (Kemenpar)
KOMENTAR

DI era digital yang serba cepat ini, budaya Nusantara menghadapi tantangan dan peluang sekaligus. Tantangan karena derasnya arus budaya asing yang dengan mudah masuk ke ruang digital kita, dan peluang karena justru melalui platform digital, budaya lokal bisa menjangkau dunia.

Namun, upaya ini tidak cukup hanya berhenti pada mempopulerkan, tetapi juga harus diarahkan pada pelestarian dan pemaknaan budaya Nusantara yang sesungguhnya.

Viralnya tarian tradisional Pacu Jalur dari Riau di media sosial internasional, yang dikenal sebagai “aura farming”, adalah cermin dari kurangnya narasi dan edukasi budaya di platform digital.

Fenomena ini menjadi sorotan Anggota Komisi I DPR RI Amelia Anggraini yang menyebut bahwa keberpihakan algoritma media sosial terhadap budaya lokal masih bersifat insidental dan belum menjadi kebijakan sistematis. “Kami ingin agar revisi UU Penyiaran mendorong platform digital global ikut menjamin keberlanjutan ekonomi kreator lokal,” ujarnya, dikutip dari ANTARA.

Lebih dari itu, menjadi sangat penting untuk menghadirkan kembali kekayaan budaya dari berbagai daerah yang mungkin belum dikenal generasi muda. Bukan hanya demi eksistensi, tetapi juga sebagai warisan nilai yang membentuk karakter bangsa.

Ketika tarian, musik, pakaian adat, dan cerita rakyat dari berbagai daerah diperkenalkan dan disebarkan secara luas, kita tidak sedang ‘berlomba viral’, tapi sedang menanamkan kebanggaan dan kesadaran akan jati diri Indonesia.

Pelestarian budaya tidak bisa dilakukan sendiri oleh pemerintah atau komunitas. Dibutuhkan dukungan dan tanggung jawab bersama—termasuk dari platform digital besar seperti Google, YouTube, TikTok, X, dan Meta. Redaksi Farah.id mendukung upaya regulasi yang mengarah pada transparansi algoritma dan perlindungan ruang digital agar tetap ramah terhadap keragaman budaya.

Kita tidak bisa membiarkan kekayaan budaya Indonesia terkikis hanya karena tidak ’naik tren’ di jagat maya. Seperti halnya negara-negara seperti Kanada, Prancis, dan Singapura yang telah mengatur platform digital demi melindungi ekosistem media lokal, Indonesia pun layak memiliki kedaulatan dalam ruang digitalnya sendiri.

Lebih dari sekadar konten, budaya Nusantara adalah identitas. Dan identitas ini patut dikenalkan ke dunia—bukan hanya agar dikenal, tetapi agar dihargai dan dijaga sepanjang masa.




Tteok Galbi Khas Gwangju, Patty ala Korea yang Wajib Kamu Coba!

Sebelumnya

Kisah di Balik Kemenangan 3 Siswi SDIT Nurul Fikri Depok di ICIA 2025 Vietnam

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Artikel Horizon