PENYEDIAAN vaksin Covid-19 menjadi perhatian serius Pemerintah Indonesia. Selain menghadirkan vaksin buatan China, Sinovial, rencananya pemerintah lewat Lembaga Biologi Molekuler Eijkmen akan menghadirkan vaksin produksi dalam negeri yang diberi nama "Vaksin Merah Putih".
Profesor Amin Soebandrio, Kepala Lembaga Biologi Molekuler Eijkmen mengatakan, enam bulan vaksin selesai dibuat. Jika sudah melewati fase 1, 2, dan 3, dan jika hasilnya bagus semua, maka pada akhir 2021 pihaknya sudah bisa menyediakan vaksin untuk seluruh masyarakat Indonesia.
"Adapun tahapan umum pembuatannya adalah pertama menyiapkan antigen yang akan diujicoba kepada hewan untuk mengetahui respon umum terhadap antigennya," jelas Prof Amin.
Jika berhasil, lanjutnya, bibit vaksin diserahkan ke industri untuk diperbanyak dan diuji klinis pada manusia.
"Dalam dua sampai tiga bulan ke depan, uji coba ke hewan dimulai. Dan insya Allah awal tahun depan sudah bisa menyiapkan bibit vaksin. Nah, bibit vaksin Eijkmen ini akan diserahkan ke Bio Farma dan nanti akan dilakukan uji klinik tiga tahap," tuturnya.
Tahap tersebut, pertama vaksin disuntikkan ke puluhan sampel manusia. Kedua, setelah berhasil akan diuji ke sampel besar di lingkungan yang sama. Dan ketiga, akan diuji ke ribuan orang di lingkungan, kelompok, dan etnis berbeda.
Terkait vaksin Sinovac yang tengah diuji coba oleh pihak Bio Farma, dikatakan Prof Amin, untuk penduduk Indonesia yang berjumlah 260 juta jiwa, jumlah vaksin tersebut sangat tidak memadai. Karenanya, vaksin produksi sendiri masih diperlukan.
"Kalau mau memberikan vaksin kepada 70 persen penduduk, kita butuh 175 juta dosis vaksin. Kalau setiap orang membutuhkan dua kali suntik, artinya kita butuh 350 juta dosis vaksin," ucapnya.
"Jika kita harus beli dari luar negeri, belum tentu produsen tersebut bisa langsung memberikan 350 juta dosis," tegas Prof Amin.
Asumsinya, Indonesia akan mendapat jatah 1 juta vaksin per minggu. Jika Indonesia membutuhkan 350 juta vaksin, maka dibutuhkan waktu 350 minggu untuk memenuhi itu semua.
Yang kedua, belum tentu vaksin itu sesuai dengan virus yang beredar di Indonesia. Oleh karena itu, harus diuji klinis yang terdesain dengan baik dan semuanya disetujui protokolnya oleh BPOM.
"Indonesia jangan mau jadi kelinci percobaan. Jangan sampai kita dijadikan pasar, artinya vaksin sudah jadi, kita hanya disuruh beli dan pakai, padahal kelanjutannya belum teruji," tegasnya.
Prof Amin menekankan pentingnya transfer pengetahuan dan teknologi. Jadi kalau ada produsen vaksin yang memiliki teknologi lebih maju, sebaiknya kita juga dibagi, tidak hanya sebagai objek saja.
KOMENTAR ANDA