Walikota Surabaya Tri Rismaharini saat sujud di hadapan dokter pengurus IDI/Net
Walikota Surabaya Tri Rismaharini saat sujud di hadapan dokter pengurus IDI/Net
KOMENTAR

29 Juni 2020, di Balai Kota Surabaya ketika menghadiri pertemuan dengan para dokter yang tergabung IDI Jatim dan IDI Surabaya, mendadak walikota Surabaya, Tri Rismamaharini yang akrab dipanggil Risma bersujud sambil menyatakan “Saya memang goblok. Saya tak pantas jadi wali kota”.

Viral

Sujud dan pernyataan Risma menjadi viral sebagai topik perguncingan di medsos. Ada yang menghakimi Risma lebay dan drama.

Ada yang menganggap Risma lemah mental maka mengalami mental breakdown akibat terlalu distressed putus asa menghadapi pageblug Corona.

Ada yang menganggap sujud dan pernyataan merupakan pengakuan Risma bahwa dirinya memang goblok maka tidak pantas menjadi walikota.

Maka ada pula yang langsung minta Risma mengundurkan diri dari jabatan walikota. Bahkan para dokter yang menyebabkan Risma bersujud dan menyatakan dirinya tidak pantas menjadi walikota tidak semuanya simpati terhadap perilaku dan ucapan Risma.

Pada hakikatnya, memang wajar di alam yang (terkesan) demokratis bahwa tidak semua orang memiliki pendapat yang sama.

Langka

Saya pribadi melihat peristiwa walikota sebagai suatu peristiwa yang langka. Pada kenyataan memang sebenarnya tidak ada manusia yang sempurna, termasuk manusia yang menduduki suatu jabatan tinggi seperti walikota Surabaya sebagai Kota Pahlawan yang dibanggakan oleh bangsa Indonesia.

Akibat tidak ada manusia yang sempurna maka sebenarnya Nelson Mandella, Mahatma Gandhi, Sun Yat Sen, Franklin Dellano Roosevelt, Winston Churchill, Soekarno, Hatta, apalagi Donald Trump, Xi Ying Ping, Vladimir Putin, Mao, Stalin, Hitler atau siapa pun juga pasti tidak sempurna.

Wajar jika Tri Rismamaharini juga tidak sempurna. Namun Risma melakukan sesuatu yang langka dan jarang dilakukan oleh para pemimpin di planet bumi ini, yaitu mengakui bahwa dirinya goblok maka tidak pantas menjadi pemimpin.

Dapat dipastikan bahwa Trump, Xi, Putin tidak pernah berjusud sambil mengakui bahwa diri mereka goblok maka tidak pantas memimpin bangsa mereka masing-masing.

Setahu saya, hanya Mahatma Gandhi yang akibat terlalu sedih melihat negara dan bangsanya terpecah-belah, secara eksplisit mengakui bahwa dirinya gagal memimpin negara dan bangsa yang dicintainya dengan jatuh sakit cukup berat. Meski jatuh sakitnya Mahatma Gandhi ternyata tidak berbuah apa pun sebab terbukti negara dan bangsa yang dicintainya terpecah belah menjadi India dan Pakistan bahkan kemudian disusul Bangladesh.

Sementara Aung San Suu Kyi yang memperoleh anugrah Nobel untuk Perdamaian yang membiarkan kaum Rohingnya ditindas dan diusir dari bumi Myanmar juga tidak pernah bersujud sambil mengakui dirinya goblok maka gagal membela perdamaian dan kemanusiaan di dalam negeri Myanmar yang sangat memuja putri pahlawan nasional legendaris Myanmar, Aung San.

Jujur dan Rendah Hati

Sadar bahwa diri saya sama sekali tidak mampu berbuat lebih baik ketimbang Risma, saya tidak berani mencemooh sujud dan pengakuan Risma.

Selama berpendapat belum dilarang secara konstitusional di persada Nusantara tercinta ini, saya pribadi berpendapat bahwa sujud dan pengakuan diri goblok maka tidak pantas menjadi walikota Surabaya merupakan suatu perilaku dan ucapan yang pantas diteladani oleh para beliau yang sudah duduk di tahta kekuasaan di negeri kita ini.

Mengakui diri goblog dan tidak pantas menduduki jabatan yang sedang diduduki bagi saya sama sekali bukan citra kelemahan namun justru kekuatan lahir-batin untuk bersikap jujur dan rendah hati.

Kejujuran dan kerendahan hati memang sudah melangka di persada Nusantara masa kini yang tampaknya sudah terlanjur mapan, nyaman dan aman berada di suasana ketidakjujuran dan ketinggian hati. Justru mereka yang jujur dan rendah-hati malah ditafsirkan sebagai lemah plus goblok.

Maka dengan penuh kerendahan hati saya memberanikan diri untuk menyampaikan penghormatan dan penghargaan kepada Tri Rismamaharini yang telah mengajak kita semua termasuk saya untuk senantiasa berupaya menjunjung tinggi harkat dan martabat kejujuran dan kerendahan hati sebagai pedoman peradaban umat manusia dalam menempuh perjalanan hidup sarat kemelut deru campur debu berpercik keringat, air mata dan darah ini. Merdeka!

Penulis adalah pendiri Sanggar Pembelajaran Kemanusiaa




Viral, Seorang Terapis Diduga Lakukan Kekerasan kepada Anak Penyandang Autisme

Sebelumnya

Menggratiskan Tes PCR Pasti Mampu Jika Mau

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Artikel Jaya Suprana