KOMENTAR

DI PASAR, saya iseng bertanya pada seorang ibu mengapa ia tidak mengenakan masker.

“Lha, ini kan sudah new normal, alias sudah normal lagi, jadi sudah enggak perlu lagi pakai masker,” jawab si ibu dengan santai.

Nah, ternyata ada anggota masyarakat yang mengartikan new normal dengan ‘old’ normal yang kita biasa jalani dulu. Padahal, tatanan hidup baru mengharuskan kita tetap memprioritaskan protokol kesehatan Covid-19. Peraturannya masih sama: jaga jarak, sering mencuci tangan dengan sabun, 50 persen kuota (jumlah karyawan yang hadir di kantor, jumlah penumpang dalam mobil, jumlah pengunjung yang makan di restoran, dll), juga mengenakan masker!

Hari ini, 4 Juni 2020, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan mengumumkan bahwa kota Jakarta siap memasuki masa transisi. Anies memaparkan grafik-grafik yang memerlihatkan kemajuan Jakarta dibandingkan kota-kota lain di Indonesia dalam memerangi penyebaran Covid-19. Seperti diketahui, Surabaya misalnya, kini justru memiliki zona hitam.

Ya, Jakarta berhasil mencapai grafik landai bahkan cenderung menurun selama bulan Mei, setelah sempat mencapai titik puncak penyebaran corona pada bulan April. Hasil dari kebijakan PSBB yang ditetapkan Pemprov Jakarta memang tidak instan terasa tapi menunjukkan tren positif 2 sampai 3 minggu sesudah kebijakan berjalan.

Meski demikian, dari 2741 RW di Jakarta, 66 di antaranya masih menjadi zona merah hingga tetap mendapat penanganan intensif. Tapi secara general, Jakarta siap menjalankan masa transisi. Menurut Gubernur Anies, kemajuan ini adalah berkat kedisiplinan dan kerja sama semua pihak yang memilih untuk tinggal di rumah dan mematuhi protokol Covid-19.

Bersyukur, sudah pasti. Artinya, kehidupan kita—terutama roda perekonomian—perlahan bisa berputar kembali. Kita berharap bisa kembali produktif setelah ‘meredup’ hampir tiga bulan lamanya.

Meski membawa berita baik, Gubernur Anies mengingatkan pentingnya semua pihak untuk tetap disiplin selama masa transisi. Karena jika ternyata ada yang melanggar protokol kesehatan hingga kurva penyebaran Covid-19 kembali naik, maka transisi dinyatakan gagal dan kita bisa kembali ke tahap karantina lagi. Hal ini tentu kita tidak inginkan.

Karena itulah, menjalani masa transisi tidak semudah yang kita bayangkan. Kita sudah sampai di tahap ini dan harus mampu memertahankan apa yang sudah kita mulai. Diperlukan tekad kuat dan kemauan untuk saling mendukung, saling menjaga, saling mengingatkan, dan saling menolong.

“... Dan tolong-menolonglah dalam kebaikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.” (QS. Al-Maidah: 2)

Dalam tafsirnya, Ibnu Katsir menjelaskan bahwa penggalan ayat di atas adalah anjuran untuk menjadikan perbuatan saling menolong dalam berbuat kebaikan dan meninggalkan segala kemunkaran sebagai sebuah kebiasaan.

Setiap kita hendaknya selalu berusaha menjadi penolong bagi orang-orang di sekitar kita. Mengajak kepada kebaikan serta memberi contoh dengan mengerjakan perbuatan baik.

Hadirnya pandemi Covid-19 seharusnya menambah motivasi kita untuk memiliki karakter penolong. Bagaimana kita memiliki jiwa sosial tanpa pamrih yang tidak hanya mementingkan kebutuhan diri sendiri.

Menolong orang lain bisa dimulai dari aksi kecil yang bisa kita lakukan sendiri hingga berlanjut dengan berpartisipasi dalam sebuah aksi sosial berskala besar yang melibatkan banyak orang.

Pertolongan yang kita berikan bagi orang lain, kecil maupun besar, selama kita ikhlas melakukannya maka akan membuahkan pahala bagi kita. Sebaliknya, pertolongan yang kita anggap lebih besar nilainya akan menjadi kesia-siaan manakala kita melakukannya demi mendapat sanjungan orang lain.

Menjadi pribadi penolong tak ubahnya mencontoh pengorbanan kaum Anshar untuk kaum Muhajirin.

Ketika orang-orang Mekkah hijrah mengikuti Rasulullah ke Madinah, mereka meninggalkan harta mereka di Mekkah. Mekkah adalah kota yang gersang hingga mayoritas penduduknya berprofesi sebagai pedagang. Keahlian tersebut tidaklah terpakai kala mereka pindah ke Madinah yang sebagian besar rakyatnya menjadi petani.

Tak heran jika di awal hijrah, kehilangan mata  pencaharian dan ketidakstabilan finansial menjadi masalah bagi kaum Muhajirin. Saat itulah kaum Anshar tidak ragu untuk menolong saudara Muslim mereka.

Kita bisa menghayati indahnya persaudaraan dalam Islam dengan membaca ayat 9 surah Al Hasyr. “Dan orang-orang yang telah menempati kota Madinah dan telah beriman (Anshar) sebelum kedatangan mereka (Muhajirin), mereka mencintai orang yang berhijrah kepada mereka. Dan mereka tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (orang Muhajirin) dan mereka mengutamakan (orang Muhajirin) atas diri mereka sendiri. Sekali pun mereka memerlukan (apa yang  mereka berikan itu).”

Ayat ini turun setelah seorang Anshar menjamu tamu (Muhajirin) dengan makanan yang merupakan jatah anak-anaknya. Dia meminta istrinya menidurkan anak-anak jika mereka minta makan. Dia dan istrinya kemudian tidur dalam keadaan lapar karena tak ada apa pun tersisa untuk dimakan. Rasul bersabda bahwa Allah Swt. menurunkan ayat di atas karena kagum dengan apa yang dilakukan sepasang suami istri tersebut.

Mari meniru hidup bermasyarakat seperti yang dicontohkan kaum Anshar dan Muhajirin dalam melewati masa transisi ini. Bagaimana kita bisa saling menolong dan mengutamakan kepentingan bersama demi mencapai tujuan mulia. Dengan demikian, kita kelak akan memiliki ikatan persaudaraan yang lebih kokoh.

Mari, sekali lagi, kita lanjutkan bahu-membahu mengalahkan Covid-19.




Ketika Maksiat dan Dosa Menjauhkan Kita dari Qiyamul Lail

Sebelumnya

Karena Rasulullah Tak Pernah Melupakan Kebaikan Orang Lain

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Baca Juga

Artikel Tadabbur