Teman yang terbuka mata hatinya itu adalah teman yang paham agama dan tidak ragu menegur kesalahan kita/ Net
Teman yang terbuka mata hatinya itu adalah teman yang paham agama dan tidak ragu menegur kesalahan kita/ Net
KOMENTAR

KETIKA sakit, kita memerlukan obat untuk menyembuhkan dan memulihkan tubuh. Dan kita tahu, jarang ada obat yang manis rasanya.

Sesuatu yang terasa lebih manis memang menyenangkan. Namun hanya sesaat. Setelah itu, rasa manisnya akan memabukkan hingga kita kehilangan kesadaran bahkan kecanduan.

Begitu pun dalam kehidupan ini.

Dalam pergaulan, kita menemukan banyak mulut manis yang menghujani kita dengan pujian dan kata-kata indah. Mereka mengklaim diri sebagai teman baik kita. Mereka memuji apa yang kita kenakan, apa yang kita lakukan, apa yang kita katakan. Di mata mereka, kita selalu benar. Di mata mereka, kita adalah makhluk sempurna.

Sejenak, kita akan merasa sangat bahagia karena merasa memiliki sahabat yang mendukung penuh apa pun yang kita lakukan. Kita merasa bersyukur bahwa mereka selalu bisa memberi support dengan menghadiahi kita dengan pujian.

Perasaan kita pun melambung tinggi hingga tanpa kita sadari kepercayaan diri kita meluap berlebihan. Tanpa sadar, kita merasa menjadi manusia tanpa cela.

Siapa tidak suka mendapat pujian? Manusiawi jika kita menjawab suka. Tapi bukan berarti kita dibutakan oleh pujian dan kata-kata manis hingga kita tidak bisa berpikir objektif.

Pernahkah suatu saat ada seseorang yang mengatakan, “Hei, jangan sibuk mengharap tepuk tangan penduduk dunia lalu melupakan akhirat!” karena dia melihat kita men-skip sumbangan ke panti asuhan lalu memamerkan tas baru yang harganya jauh lebih besar dari nominal gaji bulanannya.

Atau dia tiba-tiba mengirim pesan wa: Bismillah, afwan ukhti, Nabi menyuruh kita untuk berlaku santun dan memaafkan sekali pun itu terhadap orang-orang yang sudah menyakiti kita. Kalimat yang ditujukan pada kita setelah dia membaca status kita yang mengorek aib dan menghina orang lain.

Atau dia menegur kita yang terlampau disibukkan urusan pekerjaan dengan tidak bosan mengajak kita tentang kajian ba’da zuhur di musala kantor.

Itu semua kata-kata pahit yang membuat kita merasa sakit hati. Dan orang yang mengucapkannya bukan teman yang selalu ada di samping kita. Bukan teman yang mengadakan surprise party ulang tahun kita. Bukan teman ngerumpi (alias berghibah) sebelum tidur di malam hari. Dia juga bukan teman hangout kita di mal atau teman nonton konser penyanyi mancanegara.

Dia bukan teman yang memuji setiap penampilan kita dengan kata-kata “keren”, “cantik banget”, atau “you look so stunning” demi menghibur kita. Dia juga bukan teman yang mendorong kita untuk membalas perlakuan suami yang kurang menyenangkan dengan mengatakan “kalau dia bisa berbuat itu, kamu juga harus bisa membalasnya!”.Dia juga bukan teman yang mengatakan “i’m on your side” lalu berapi-api mengajak kita memark-up anggaran di kantor.

Intinya, dia bukan teman yang biasa menghujani kita dengan kata-kata manis.
Tapi jika kita merasa sakit hati dengan teguran yang mereka ucapkan, kita seharusnya bisa melihat bahwa apa yang mereka katakan adalah kejujuran. Mereka adalah orang yang jujur. Dan orang yang jujur adalah sebaik-baik teman.

Kejujuran yang mereka ucapkan memang pahit. Tapi seperti halnya obat, yang pahit akan menyembuhkan.

Dalam sebuah kajian, Dr. Syafiq Riza Basalamah, MA mengajak kita untuk mencari teman yang memahami agama dan terbuka mata hatinya.

Menurut Ustaz Syafiq, teman yang terbuka mata hatinya tidak akan berteman hanya untuk mengambil manfaat dari kita. Biasanya, teman yang terbuka mata hatinya itu adalah teman yang paham agama dan tidak ragu menegur kesalahan kita. Dan kita biasanya tidak menyukai mereka yang kerap mengkritik dan menegur kita karena kita lebih senang dipuji.

Padahal Umar bin Khathab mengatakan “Semoga Allah merahmati orang-orang yang menghadiahkanku dengan keburukan-keburukanku.”

Teman yang jujur akan membuat kita tidak larut dalam kesia-siaan. Teman yang jujur akan mengatakan hal yang sebenarnya, bukan hal yang kita ingin lihat atau kita ingin dengar. Teman yang jujur akan menyelamatkan kita dari tipu daya dunia yang menyesatkan.

Teman yang jujur mungkin tak melulu hadir di depan mata kita. Tapi kata-katanya yang ‘pahit’ akan menjadi penyembuh sesungguhnya dari luka yang kita rasakan. Rasa pahit yang keluar dari kejujuran itulah sejatinya shoulder to cry on.

Mudah-mudahan setelah ini kita tak lagi menjadi pribadi yang mabuk pujian. Jujurlah, kita butuh teman yang jujur untuk bisa menjadi manusia yang lebih baik.

 




Bukankah Aku Ini Tuhanmu?

Sebelumnya

Ya Allah, Aku Belum Pernah Kecewa dalam Berdoa

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Baca Juga

Artikel Tadabbur