Ilustrasi/Net
Ilustrasi/Net
KOMENTAR

PERNAHKAH anda berada dalam situasi di mana Anda mengambil suatu keputusan tanpa lebih dulu memikirkan konsekuensinya? Sebagai contoh, Anda bergegas membeli sebuah tas hanya karena tertarik melihat potongan harga 50 persen di toko, padahal anda tidak berniat membelinya, tidak juga membutuhkannya dan hal itu akan menguras tabungan Anda.

Jika iya, maka bisa jadi Anda memiliki perilaku impulsif.

Secara sederhana perilaku impulsif dimaknai sebagai kondisi di mana seseorang mendapatkan dorongan untuk melakukan sebuah tindakan tanpa memikirkan konsekuensinya terlebih dahulu.

Seseorang yang memiliki perilaku impulsif memiliki kesulitan untuk mengendalikan dorongan hati atau keinginan. Namun, sebenarnya apa yang terjadi pada otak saat kita berperilaku impulsif?

Sekelompok peneliti mencoba mencari jawaban ilmiah atas hal tersebut. Dalam sebuah studi terbaru yang dirterbitkan di Nature Communications, para peneliti menyebut bahwa impulsivitas adalah bagian integral dari berbagai kondisi, termasuk kecanduan obat, obesitas, gangguan hiperaktif, defisit perhatian, dan penyakitpParkinson.

Mereka mendefinisikan impulsif sebagai tindakan merespons tanpa pemikiran sebelumnya atas konsekuensi tindakan seseorang.

"Menjadi impulsif tidak selalu merupakan hal yang buruk, tetapi ini sering kali dapat menimbulkan konsekuensi yang tidak diinginkan," begitu bunyi hasil studi tersebut.

Studi baru ini dilakukan dengan tujuan untuk lebih memahami tentang mekanisme yang menghasilkan impulsif. Para ilmuwan berharap bahwa pengetahuan ini, pada akhirnya, dapat mengarah pada intervensi yang dapat mengurangi perilaku impulsif.

Dalam studi itu, para peneliti menggunakan petida, atau molekul yang terbentuk dari dua atau lebih asam amino, yang disebut melanin-concentrating hormone (MCH). Penelitian sebelumnya telah mengaitkan peptida ini dengan perilaku mencari makanan atau obat-obatan.

MCH utamanya diproduksi di hipotalamus yang juga memiliki implikasi dalam mempengaruhi suasana hati, keseimbangan energi, dan siklus tidur-bangun.

Para penliti melakukan serangkaian percobaan pada tikus untuk memeriksa peran MCH dalam perilaku impulsif.

Dalam percobaan pertama, mereka memberikan tuas pada tikus. Ketika tikus menekannya, mereka menerima pelet makanan, tetapi hadiah itu hanya tersedia setiap 20 detik. Jika tikus menekan tuas sebelum 20 detik, maka waktu diputar dari awal sehingga mereka harus menunggu lebih lama untuk mendapatkan hadiahnya.

Dengan kata lain, tikus diberi hadiah karena mengendalikan perilaku impulsif mereka. Setelah para peneliti melatih tikus pada tugas tersebut, mereka menyuntikkan MCH ke dalam otak mereka.

Hasilnya, MCH membuat tikus meningkatkan intensitasnya dalam menekan tuas. Dengan kata lain, tikus menjadi lebih impulsif pasca disuntikkan MCH.

Dengan memindai otak tikus, para ilmuwan bisa mendapatkan gambaran tentang jalur saraf yang terlibat.

"Kami akan mendorong sistem ke atas, dan kemudian kami akan melihat hewan-hewan menjadi lebih impulsif. Dan jika kami mengurangi fungsinya, kami pikir mereka akan kurang impulsif, tetapi sebaliknya, kami menemukan bahwa mereka lebih dari itu, menjadi lebih impulsif," kata penulis senior studi tersebut, Scott Kanoski, Ph.D., yang merupakan seorang associate professor di University of Southern California Dornsife College of Letters, Seni, dan Ilmu Pengetahuan, di Los Angeles.

Meskipun begitu, para peneliti mengakui bahwa masih perlu waktu lama sebelum penelitian itu menjadi dasar bagi perawatan perilaku impulsif. Paslanya, merea mengakui bahwa studi itu memiliki keterbatasan. Salah satunya adalah studi itu hanya meneliti perilaku impulsif menggunakan tes berbasis makanan tertentu dalam model tikus. Hal ini tidak bisa diterapkan secara semerta-merta pada manusia ketika mereka menavigasi pilihan kehidupan nyata sulit, dan bukan hanya didasarkan pada makanan.

Karena impulsif muncul dalam berbagai kondisi, peneliti yakin untuk terus menyelidiki ilmu yang mendorongnya.

"Kami tidak memiliki teknologi untuk menggunakan data ini untuk memperbaiki (perilaku) impulsif sekarang. Namun, memahami bahwa ada jalur yang dapat mengubah impulsif," kata penulis lainnya, Emily Noble, Ph.D., seperti dikabarkan Medical News Today pekan lalu.




Kemenkes Sosialisasikan Pertolongan Pertama pada Pasien Demam Berdarah

Sebelumnya

Benarkah Cuaca Panas Ekstrem Berbahaya Bagi Penderita Diabetes?

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Artikel Health