GENERASI Z—mereka yang lahir antara 1997 hingga 2012—kerap menjadi sorotan dalam berbagai diskusi sosial, ekonomi, hingga kesehatan mental. Dianggap lebih lemah dibanding generasi sebelumnya, khususnya dalam dunia kerja, Gen Z kerap mendapat stigma sebagai generasi yang mudah menyerah, emosional, bahkan dijuluki generasi cengeng.
Namun, apakah benar demikian?
Dalam realitasnya, Generasi Z tumbuh dalam dunia yang sangat berbeda dari generasi sebelumnya. Mereka adalah digital native—akrab dengan teknologi sejak kecil, hidup di tengah ketidakpastian ekonomi, krisis iklim, dan tekanan media sosial.
Menurut laporan JAMA Pediatrics, 1 dari 7 anak dan dewasa muda saat ini mengalami gangguan kesehatan mental, seperti kecemasan, depresi, hingga keinginan melukai diri sendiri. Gen Z adalah generasi yang paling terdampak.
Sementara itu, Jonathan Haidt, psikolog sosial dari New York University, menjelaskan bahwa pola asuh yang terlalu protektif sejak 1990-an, terutama di negara-negara maju, membuat anak-anak kehilangan kesempatan membangun ketahanan diri. Fenomena ini juga terjadi di Indonesia, yang saat itu tengah mengalami krisis ekonomi besar-besaran. Banyak orang tua menjadi lebih waspada dan overprotective, membentuk anak-anak yang kurang percaya diri menghadapi tekanan dunia nyata.
Tak hanya itu, media sosial juga memainkan peran besar. Laporan dari Forbes menunjukkan bahwa paparan berlebihan terhadap konten di media sosial, tekanan untuk tampil sempurna, dan perbandingan sosial telah meningkatkan risiko gangguan mental pada Gen Z secara signifikan.
Namun di balik tantangan itu, Gen Z menyimpan potensi besar. Generasi ini menjadi pendorong utama transformasi digital di Indonesia. Mereka bukan hanya pengguna teknologi, tetapi juga pencipta—mendorong munculnya ribuan startup dan menjadikan Indonesia sebagai kekuatan baru ekonomi digital global.
Apa yang Bisa Dilakukan?
Masyarakat, terutama orang tua, guru, dan pembuat kebijakan, perlu bergeser dari sikap menghakimi menjadi pendamping. Kita perlu mendengarkan mereka, memahami bahasa mereka, dan memberi ruang eksplorasi—baik dalam pendidikan, karier, maupun kesehatan mental. Pemerintah juga harus memastikan kebijakan yang inklusif dan mendukung kesejahteraan psikologis generasi muda.
Alih-alih melemah, Gen Z adalah generasi yang sadar akan kesehatan mental, berani mencari bantuan, dan lebih terbuka membicarakan luka batin. Ini adalah kekuatan, bukan kelemahan.
Jika kita mampu membimbing mereka dengan empati dan strategi yang tepat, maka Gen Z bukan sekadar harapan masa depan—mereka adalah agen perubahan hari ini.
KOMENTAR ANDA