Ilustrasi berkata 'tidak'/Milenianews
Ilustrasi berkata 'tidak'/Milenianews
KOMENTAR

SEKADAR berkata “tidak” ternyata tidak mudah. Terkadang lidah berkata “tidak“, tetapi hati mengatakan “iya” dan perbuatan melakukan apa yang berlainan dengan ungkapan lisan. Padahal, “tidak” itu justru dibutuhkan untuk menolak hal-hal terlarang.

Terkadang, lidah seseorang dapat dengan mudah mengucapkan "tidak," tetapi hati merasa terbelah antara keinginan untuk menolak dan tekanan lingkungan atau keinginan pribadi yang menerima, meskipun sebenarnya itu adalah yang terbaik.

Musthafa Dieb al-Bugha dalam buku Al-Wafi Syarah Hadis Arba'in Imam an-Nawawi (2015: 215) mengisahkan, Wabishah berkata, aku datang menemui Rasulullah untuk menanyakan tentang kebaikan dan dosa. Ketika aku ingin berjalan mendekat, para sahabat berkata, “Apa yang ingin kamu lakukan, Wabishah?”

Aku pun menjawab, “Biarkan aku mendekati Rasulullah karena beliau adalah orang yang paling aku cintai.”

Lalu, Rasul pun berkata, “Mendekatlah, wahai Wabishah.”

Kemudian aku mendekat lalu duduk, hingga lututku menyentuh lutut beliau. Lalu Rasul bersabda, “Wahai Wabishah, maukah kamu kuberitahu maksud kedatanganmu ke sini?”

Aku pun menjawab, “Silakan, ya Rasulullah.”

Rasululullah pun bersabda, “Kamu datang untuk bertanya tentang kebaikan dan dosa.”

Aku pun menjawab, “Benar, ya Rasulullah.”

Selanjutnya, Rasulullah meletakkan telapak tangannya di dadaku seraya bersabda: “Wahai Wabishah! Tanyakan pada nuranimu. Tanyakan pada jiwamu. Kebaikan adalah apa yang membuat hati dan jiwamu tenang. Sedangkan dosa adalah sesuatu yang mengganggu jiwamu dan membuat hatimu ragu meskipun orang-orang memberi nasihat kepadamu.”

Rasulullah dengan kelembutan dan hikmahnya mengajarkan kepada Wabishah tentang kebaikan dan dosa. Beliau menekankan pentingnya mendengarkan nurani dan jiwa sendiri dalam menentukan perbuatan baik dan perbuatan dosa. Kebaikan adalah apa yang membuat hati dan jiwa menjadi tenang, sedangkan dosa adalah sesuatu yang mengganggu jiwa dan membuat hati meragu.

Ketika mencoba berani berkata tidak, kita sebenarnya sedang melatih diri untuk lebih mendengarkan suara batin. Ini merupakan langkah pertama dalam mengembangkan integritas diri dan mengikuti jalan kebaikan yang telah diajarkan oleh Rasulullah.

Seiring waktu, keberanian untuk berkata tidak akan membentuk karakter yang kuat dalam menghadapi godaan dan tekanan dari lingkungan sekitar.

Berkata tidak juga merupakan bentuk pertanggungjawaban diri. Dengan mengatakan tidak, kita menegaskan nilai-nilai dan prinsip-prinsip yang kita anut. Ini adalah langkah menuju kebebasan diri dari pengaruh negatif dan keputusan-keputusan yang merugikan.

Sebuah kata “tidak” yang tegas menunjukkan bahwa kita memiliki kendali atas diri sendiri, bukan hanya menjadi budak dari keinginan pihak-pihak lain. Dalam dunia yang penuh dengan godaan, keberanian untuk berkata “tidak” adalah senjata ampuh untuk menjaga kesucian hati.

Seiring dengan itu, kita juga dapat memberikan contoh yang baik kepada orang-orang di sekitar, mengajak mereka untuk lebih mendengarkan suara hati demi memilih jalan kebaikan.

Mari kita ambil inspirasi dari kisah Wabishah. Mari ambil pelajaran berharga yang disampaikan oleh Rasulullah. Cobalah berani berkata tidak, karena dalam keberanian itulah kita menemukan jalan menuju ketenangan jiwa.




Ana Khairun Minhu

Sebelumnya

Hubbu Syahwat

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Baca Juga

Artikel Tadabbur